BOSSPULSA.COM, Yogyakarta – Kekhawatiran besar menyelimuti industri otomotif Indonesia setelah data penjualan mobil di bulan November 2025 menunjukkan bahwa Malaysia berhasil melampaui Indonesia. Fenomena ini, jika tidak segera diatasi dengan stimulus yang tepat, berpotensi menimbulkan dampak yang mengerikan bagi perekonomian nasional, termasuk ancaman hilangnya investasi dan tergerusnya daya saing.
Pada bulan November 2025, Malaysia mencatatkan angka penjualan mobil wholesales yang impresif, mencapai lebih dari 77.000 unit. Angka ini secara signifikan melebihi penjualan wholesales di Indonesia yang hanya menyentuh angka 74.000 unit pada periode yang sama. Tren ini berlanjut hingga akhir tahun, di mana total penjualan mobil di Malaysia sepanjang Januari-November 2025 telah menembus 720.000 unit. Sementara itu, Indonesia, dalam periode yang sama, baru mampu membukukan penjualan sebanyak 710.000 unit. Situasi ini semakin diperparah dengan fakta bahwa Malaysia menetapkan target penjualan mobil sebesar 800.000 unit pada tahun 2025. Sebaliknya, akibat merosotnya permintaan domestik, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) terpaksa merevisi target penjualan mereka dari semula 900.000 unit menjadi hanya 780.000 unit. Kesenjangan target ini mengindikasikan potensi Malaysia untuk mendominasi pasar otomotif ASEAN, sebuah skenario yang dapat membahayakan keberlangsungan industri otomotif Indonesia.
Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam, menyuarakan kekhawatiran mendalam terkait tren ini. Ia menegaskan bahwa jika situasi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin para investor akan beralih dan memindahkan basis investasi mereka ke negara tetangga, Malaysia. "Ini yang saya khawatirkan, tahun 2025 ini penjualan domestik otomotif di Indonesia ini mungkin sudah sama dengan Malaysia. Kalau situasi ini berlanjut terus, nanti investasinya akan masuk ke Malaysia, bukan ke Indonesia. Ya, itu yang harus kita perhatikan bersama," ujar Bob, seperti dikutip dari CNBC Indonesia. Bob Azam menekankan urgensi pemberian stimulus untuk membangkitkan kembali gairah pasar otomotif Indonesia. Ia mencontohkan keberhasilan program insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang digulirkan pemerintah pada era pandemi COVID-19. Saat itu, insentif tersebut berhasil mendongkrak penjualan mobil hingga menembus angka 1 juta unit. Lebih penting lagi, stimulus tersebut terbukti memberikan keuntungan timbal balik bagi pemerintah, produsen, maupun konsumen.
Namun, di tengah kekhawatiran tersebut, kebijakan pemerintah menunjukkan arah yang ambigu. Hingga berita ini diturunkan, pemerintah belum mengumumkan secara spesifik jenis stimulus yang akan diberikan untuk mendongkrak penjualan mobil domestik. Justru, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengumumkan rencana untuk menghentikan insentif di sektor otomotif nasional. Meskipun demikian, belum ada kejelasan mengenai jenis insentif spesifik yang akan dihentikan. Perlu dicatat, pemerintah memang telah memberikan berbagai insentif untuk segmen kendaraan tertentu, seperti mobil listrik yang mendapatkan keringanan PPN, PPnBM, dan pembebasan bea masuk. Mobil hybrid juga menikmati insentif PPnBM sebesar 3%, demikian pula dengan mobil Low Cost Green Car (LCGC) yang dikenakan PPnBM sebesar 3%.
Pernyataan Airlangga Hartarto ini tampak bertolak belakang dengan pandangan Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita. Sebelumnya, Agus Gumiwang menyatakan bahwa industri otomotif merupakan salah satu sektor yang sangat vital dan menjadi andalan Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah berencana untuk kembali memberikan insentif di tahun mendatang. "Ya, sekarang sedang kita susun, dan insentif otomotif itu menurut saya sebuah keharusan ya, karena sektor yang terlalu penting, sangat-sangat penting. SBIN (Strategi Baru Industrialisasi Nasional) strateginya kita melihat backward dan forward linkage dari setiap kegiatan manufaktur," jelas Agus. Kontradiksi antara kedua menteri ini menimbulkan ketidakpastian bagi para pelaku industri otomotif, yang tengah menghadapi tekanan dari pasar domestik dan persaingan regional yang semakin ketat.
Analisis Dampak dan Potensi Solusi Jangka Panjang
Melampauinya Malaysia dalam penjualan mobil bukanlah sekadar angka statistik semata, melainkan sebuah sinyal peringatan serius terhadap kesehatan industri otomotif Indonesia. Jika tren ini berlanjut, dampaknya bisa sangat luas dan mendalam. Pertama, penurunan daya saing Indonesia di pasar ASEAN. Kinerja penjualan yang stagnan atau menurun akan membuat Indonesia kehilangan posisinya sebagai pemain utama, yang berpotensi memberikan keuntungan kompetitif bagi negara lain, termasuk Malaysia. Hal ini dapat berdampak pada penurunan ekspor komponen otomotif Indonesia ke negara-negara ASEAN lainnya.
Kedua, ancaman terhadap investasi asing dan domestik. Seperti yang diungkapkan Bob Azam, investor akan cenderung mengarahkan dananya ke pasar yang menunjukkan pertumbuhan dan potensi keuntungan yang lebih besar. Jika pasar otomotif Indonesia terus lesu, investor bisa membatalkan rencana ekspansi atau bahkan menarik investasinya, yang akan berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan penerimaan negara. Sektor otomotif merupakan salah satu sektor padat modal dan padat karya, sehingga penurunannya akan terasa di berbagai lini ekonomi.
Ketiga, dampak terhadap industri pendukung. Industri otomotif memiliki jaringan industri pendukung yang sangat luas, mulai dari industri baja, plastik, karet, hingga industri komponen. Penurunan produksi mobil akan berimbas pada penurunan permintaan dari industri-industri pendukung tersebut, yang dapat menyebabkan pemutusan hubungan kerja massal dan pelemahan ekonomi di sektor-sektor terkait.
Keempat, hilangnya potensi pendapatan negara. Pajak dari penjualan mobil, baik PPnBM, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), maupun Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang signifikan. Penurunan penjualan mobil berarti penurunan pendapatan pajak bagi pemerintah, yang dapat mempengaruhi anggaran negara dan kemampuan pemerintah untuk membiayai program-program pembangunan.
Kelima, ketidakpastian kebijakan pemerintah. Adanya perbedaan pandangan antara menteri terkait kebijakan insentif otomotif menciptakan kebingungan dan ketidakpastian bagi para pelaku industri. Perusahaan membutuhkan kejelasan kebijakan untuk dapat merencanakan strategi bisnis jangka panjang. Ketidakpastian ini dapat menghambat investasi dan inovasi di sektor otomotif.
Untuk mengatasi situasi ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang komprehensif dan berkelanjutan. Stimulus fiskal yang tepat sasaran, seperti yang pernah berhasil dilakukan dengan insentif PPnBM, menjadi salah satu opsi yang perlu dipertimbangkan kembali. Namun, stimulus tersebut harus dirancang agar tidak hanya meningkatkan penjualan dalam jangka pendek, tetapi juga mendorong inovasi dan pengembangan produk yang lebih ramah lingkungan dan sesuai dengan kebutuhan pasar masa depan.
Selain stimulus fiskal, pemerintah perlu mengevaluasi dan menyederhanakan regulasi yang menghambat pertumbuhan industri otomotif. Hal ini termasuk kemudahan perizinan, kepastian hukum, serta insentif untuk penelitian dan pengembangan (R&D) teknologi otomotif baru, termasuk kendaraan listrik dan hybrid.
Penting pula bagi pemerintah untuk berdialog secara intensif dengan para pelaku industri, termasuk produsen, distributor, dan asosiasi industri, untuk memahami akar permasalahan dan merumuskan solusi yang paling efektif. Kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta adalah kunci untuk membangkitkan kembali gairah pasar otomotif Indonesia dan memastikan industri ini tetap kompetitif di kancah global, khususnya di kawasan ASEAN.
Di sisi lain, pelaku industri juga perlu melakukan introspeksi dan berinovasi. Mereka harus terus mengembangkan produk yang sesuai dengan tren global, meningkatkan kualitas, dan menawarkan harga yang kompetitif. Fokus pada pengembangan kendaraan listrik dan teknologi ramah lingkungan lainnya juga menjadi keharusan untuk menghadapi masa depan industri otomotif yang semakin hijau.
Dengan mengambil langkah-langkah yang tepat dan terkoordinasi, Indonesia masih memiliki peluang untuk membalikkan keadaan dan mengukuhkan kembali posisinya sebagai pemain utama di industri otomotif ASEAN. Namun, waktu terus berjalan, dan kelambanan dalam bertindak akan semakin memperlebar jurang kesenjangan dengan negara-negara pesaing, termasuk Malaysia. Ancaman "negeri jiran" yang semakin mendominasi pasar otomotif regional adalah nyata, dan penanganannya membutuhkan keseriusan serta sinergi dari semua pihak yang terlibat.
