0

Komdigi Desak Google Hapus 8 Aplikasi Data Mata Elang

Share

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Republik Indonesia mengambil langkah tegas dengan mendesak Google untuk segera menghapus delapan aplikasi digital yang diduga kuat menjadi sarana praktik "mata elang" atau pencurian data ilegal oleh penagih utang. Tindakan ini merupakan respons serius Komdigi terhadap pelanggaran privasi data dan penyalahgunaan informasi yang meresahkan masyarakat, serta dinilai melanggar berbagai ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Praktik "mata elang" yang melibatkan aplikasi-aplikasi ini telah lama menjadi momok bagi para debitur, di mana data pribadi mereka disalahgunakan untuk melacak dan melakukan penarikan kendaraan secara paksa, seringkali dengan metode yang intimidatif dan di luar prosedur hukum.

Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar, dalam siaran pers yang dikeluarkan pada Jumat, 19 Desember, menyatakan bahwa permohonan penghapusan atau delisting telah diajukan kepada platform digital terkait, dalam hal ini Google. "Komdigi telah mengajukan permohonan penghapusan (delisting) terhadap 8 aplikasi digital yang berkaitan dengan praktik mata elang kepada pihak platform digital terkait, yakni Google dalam hal ini. Saat ini, 6 aplikasi di antaranya sudah tidak aktif dan 2 aplikasi lainnya sedang dalam proses," jelas Alexander. Ini menunjukkan komitmen Komdigi untuk menjaga ruang digital tetap aman dan melindungi hak-hak privasi masyarakat dari ancaman penyalahgunaan data.

Langkah proaktif ini diambil Komdigi setelah adanya temuan indikasi penyebaran data objek fidusia secara tidak sah. Objek fidusia adalah benda bergerak, seperti kendaraan bermotor, yang dijadikan jaminan utang namun kepemilikannya secara hukum masih berada pada debitur sampai pinjaman lunas. Penyebaran data terkait objek fidusia ini tanpa persetujuan merupakan pelanggaran serius terhadap privasi dan hak kepemilikan. Alexander Sabar menjelaskan lebih lanjut bahwa aplikasi-aplikasi "Mata Elang" ini, seperti yang diidentifikasi dengan nama BESTMATEL, berfungsi sebagai alat pendukung bagi para penagih utang (debt collector) untuk mencari dan mengidentifikasi kendaraan kredit bermasalah. Cara kerjanya cukup canggih, yakni dengan memindai nomor polisi kendaraan secara real-time dan mencocokkannya dengan database dari perusahaan leasing atau pembiayaan. Dengan demikian, para debt collector dapat dengan mudah menemukan target mereka di jalanan, tempat umum, atau bahkan di lokasi-lokasi strategis lainnya.

Tidak hanya sebatas identifikasi, aplikasi-aplikasi tersebut juga dirancang untuk membantu penagih utang dalam melacak, mengintai, dan pada akhirnya melakukan penarikan kendaraan di lokasi yang telah ditentukan. Data yang diproses dan diakses melalui aplikasi ini sangat komprehensif, mencakup informasi detail mengenai debitur, spesifikasi kendaraan, hingga ciri-ciri fisik yang dapat mempermudah penagihan. Informasi sensitif seperti nama lengkap, alamat, riwayat pembayaran, hingga data identifikasi kendaraan menjadi santapan empuk bagi oknum-oknum yang memanfaatkan celah ini. Dampak dari penyalahgunaan data ini tidak hanya sebatas pada kerugian materiil, tetapi juga menimbulkan keresahan, ketakutan, dan bahkan potensi konflik fisik di lapangan antara debitur dan penagih utang.

Alexander Sabar menegaskan bahwa penanganan terhadap aplikasi-aplikasi semacam ini dilakukan sesuai dengan koridor hukum, khususnya Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. Regulasi ini memberikan landasan hukum bagi Komdigi untuk melakukan pengawasan dan penindakan terhadap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang beroperasi di Indonesia, termasuk aplikasi mobile. Proses penindakan tersebut dilakukan melalui beberapa tahapan yang sistematis dan terukur. "Proses penindakan dilakukan melalui tahapan pemeriksaan, analisis, serta rekomendasi pemutusan akses atau penghapusan aplikasi berdasarkan surat resmi dari instansi pengawas sektor terkait, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia," ujarnya. Koordinasi lintas sektor ini menjadi krusial untuk memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil memiliki dasar hukum yang kuat dan melibatkan otoritas yang berwenang di bidangnya masing-masing. OJK, sebagai pengawas sektor jasa keuangan, memiliki peran penting dalam memastikan praktik penagihan utang dilakukan sesuai etika dan regulasi. Sementara itu, Kepolisian bertanggung jawab dalam penegakan hukum terhadap tindakan kriminal yang mungkin terjadi selama proses penagihan, seperti perampasan atau kekerasan.

Meski 6 aplikasi telah berhasil dinonaktifkan, 2 aplikasi lainnya masih dalam proses verifikasi oleh pihak platform digital. Komdigi terus memperkuat koordinasinya dengan instansi pengawasan sektor dan platform digital untuk memastikan semua aplikasi bermasalah ditangani. "Hal ini dilakukan bertujuan untuk memastikan ruang digital tetap aman, serta melindungi masyarakat," pungkas Alexander. Upaya ini bukan hanya tentang menghapus aplikasi, tetapi juga membangun ekosistem digital yang lebih bertanggung jawab dan aman bagi semua pengguna.

Kasus ini menjadi sorotan publik setelah viral di media sosial. Sebelumnya, diinformasikan bahwa sebuah aplikasi Matel (Mata Elang) yang diduga menyebarkan data pribadi secara umum telah menjadi perbincangan hangat. Aplikasi yang dimaksud bernama Gomatel-Data R4 Telat Bayar, yang kemudian diketahui berpusat di Kabupaten Gresik. Keresahan masyarakat muncul setelah beberapa postingan di media sosial mengungkap praktik-praktik kejahatan pencurian dengan kekerasan yang berkedok penagih utang atau "mata elang." Publik semakin menyadari bahwa para pelaku kejahatan tersebut menggunakan aplikasi seperti Go Matel untuk mengetahui data pribadi para nasabah di beberapa perusahaan pembiayaan atau finance.

Situasi semakin memanas dan mendapatkan perhatian luas usai postingan Kombes Manang Soebeti, dengan nama akun Instagram @manangsoebati_official. Dalam unggahannya pada Senin, 15 Desember, perwira polisi lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 2001 itu secara terbuka mempertanyakan legalitas aplikasi ini. "Halo @kemkomdigi apakah aplikasi MATEL ini legal? Modus yang digunakan oleh para matel ilegal, dengan menggunakan data nasabah dari aplikasi terbuka di playstore. Tolong dicek," tulisnya dalam caption Instagram. Postingan ini menjadi pemicu utama bagi Komdigi dan aparat penegak hukum untuk bertindak lebih jauh.

Usai viral di media sosial, Kapolres Gresik AKBP Rovan Richar Mahenu langsung melakukan penelusuran dan pemeriksaan mendalam. Dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa aplikasi Gomatel tersebut ternyata dikendalikan oleh warga Gresik dan berpusat di "Kota Santri" itu. Polisi pun bergerak cepat dan berhasil mengamankan dua orang yang diduga menjadi bagian dari jaringan debt collector ilegal yang memanfaatkan aplikasi tersebut. "Jadi dari aplikasi tersebut, para debt collector atau matel ilegal kerap merampas kendaraan milik debitur tanpa prosedur," jelas AKBP Rovan Richar Mahenu pada Kamis, 18 Desember. Penangkapan ini menjadi bukti nyata bahwa praktik-praktik ilegal ini tidak akan ditoleransi dan akan ditindak tegas oleh aparat penegak hukum.

Penyalahgunaan data pribadi melalui aplikasi "mata elang" ini tidak hanya melanggar Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020, tetapi juga secara terang-terangan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). UU PDP secara tegas mengatur hak-hak subjek data, kewajiban pengendali data, serta sanksi bagi pelanggaran data pribadi, termasuk akses tidak sah dan penyebarluasan data tanpa persetujuan. Aplikasi-aplikasi ini, dengan mengakses dan menyebarkan data debitur dan objek fidusia tanpa dasar hukum yang jelas, secara langsung melanggar prinsip-prinsip perlindungan data pribadi. Selain itu, praktik penarikan kendaraan secara paksa di jalanan tanpa surat perintah eksekusi fidusia yang sah dari pengadilan juga merupakan tindakan melanggar hukum, bahkan bisa dikategorikan sebagai perampasan atau tindak pidana lainnya.

Keberadaan aplikasi "mata elang" ini menunjukkan tantangan besar dalam mengawasi ruang digital yang semakin kompleks. Platform seperti Google memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan aplikasi yang tersedia di toko aplikasi mereka tidak disalahgunakan untuk kegiatan ilegal. Komdigi, bersama OJK dan Kepolisian, akan terus memperkuat sinergi untuk memerangi praktik-praktik serupa. Masyarakat juga diimbau untuk lebih berhati-hati dalam memberikan data pribadi, serta segera melaporkan jika menemukan indikasi penyalahgunaan data atau praktik penagihan utang yang tidak sesuai prosedur. Ini adalah langkah kolektif untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih aman, beretika, dan melindungi hak-hak fundamental setiap warga negara.