0

Misteri Penyebab Salah Satu Buaya Terbesar di Dunia Mati Terungkap

Share

Kepergian Cassius, salah satu buaya air asin terbesar dan tertua yang pernah hidup di dunia, pada November 2024, sempat menyisakan kabut misteri yang mendalam. Buaya raksasa dengan panjang mencapai 5,5 meter ini, yang telah menjadi ikon dan daya tarik utama di Taman Margasatwa Marineland Melanesia, Green Island, lepas pantai Cairns, Australia, selama empat dekade, tiba-tiba menghembuskan napas terakhirnya di usia yang diperkirakan antara 110 hingga 129 tahun. Kematiannya yang mendadak mengejutkan banyak pihak, mengingat laporan terakhir menyebutkan Cassius masih terlihat ceria dan aktif seperti biasa, seolah usianya yang uzur tak mampu meredupkan semangat hidupnya. Namun, kini, teka-teki di balik kematian salah satu penghuni penangkaran tertua di dunia ini akhirnya terkuak, mengungkap sebuah kisah luar biasa tentang ketahanan, luka tersembunyi, dan dampak tak terhindarkan dari usia tua.

Penyelidikan mendalam melalui otopsi yang dilakukan oleh para ahli dari Pusat Penelitian Buaya yang berbasis di Darwin, Australia, akhirnya menyingkap penyebab pasti kematian Cassius. Hasil autopsi tersebut mengungkapkan bahwa buaya legendaris itu meninggal dunia akibat kondisi nekrosis yang dipicu oleh infeksi serius. Namun, yang membuat kasus ini semakin menarik dan kompleks adalah fakta bahwa infeksi mematikan ini ternyata terkait erat dengan cedera parah yang dialami Cassius di alam liar, lebih dari empat puluh tahun yang lalu. Sebuah luka lama yang tak terduga menjadi pemicu akhir kepergian sang raksasa.

Infeksi tersebut, menurut temuan tim peneliti, telah terperangkap dalam apa yang mereka sebut sebagai kapsul berserat yang keras—sebuah fenomena yang dikenal dalam dunia medis sebagai fibrosis. Kapsul pelindung ini secara efektif menyegel infeksi, menjaganya tetap tidak aktif dan dormant selama puluhan tahun, seolah menjadi bom waktu yang tersembunyi di dalam tubuh Cassius. Selama ini, kapsul tersebut berfungsi sebagai penghalang yang kuat, mencegah patogen menyebar dan menimbulkan kerusakan fatal. Ini adalah bukti luar biasa dari sistem kekebalan dan kemampuan adaptasi tubuh buaya yang menakjubkan. Namun, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia Cassius yang sangat lanjut, pertahanan alami tubuhnya mulai melemah. Gelembung pelindung yang selama ini kokoh itu akhirnya pecah dan hancur, memungkinkan infeksi yang terperangkap di dalamnya menyebar luas ke seluruh tubuh buaya, memicu kondisi nekrosis atau kematian jaringan yang tak terhindarkan.

Dr. Sally Isberg, Direktur Pelaksana di Pusat Penelitian Buaya, menjelaskan kepada media bahwa meskipun fibrosis dan kemampuan buaya untuk mengisolasi infeksi sudah terdokumentasi dengan baik dalam ilmu pengetahuan, kasus Cassius ini sungguh luar biasa. Lamanya waktu infeksi tersebut dapat tertahan tanpa menimbulkan gejala fatal adalah sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. "Ini adalah contoh sempurna dari efek usia tua," kata Dr. Isberg, "ia tidak lagi mampu mempertahankan selubung berserat di sekitar infeksi tersebut." Pernyataan ini menyoroti bagaimana proses penuaan, bahkan pada makhluk yang dikenal sangat tangguh seperti buaya, pada akhirnya akan mengurangi kemampuan tubuh untuk melawan ancaman internal yang telah lama ada.

Penyelidikan lebih lanjut oleh tim forensik buaya mengarahkan mereka pada kesimpulan bahwa infeksi tersembunyi tersebut kemungkinan besar berasal dari cedera traumatis yang dialami Cassius pada tahun 1980-an. Pada masa itu, Cassius muda, yang masih berkeliaran bebas di alam liar, mengalami insiden tragis ketika ia tertabrak baling-baling kapal. Kecelakaan tersebut meninggalkan jejak kerusakan yang parah dan terlihat jelas pada tubuhnya, termasuk hilangnya kaki depan kirinya, sebagian moncongnya, dan ujung ekornya. Luka-luka ini telah menjadi bagian dari identitas Cassius, menceritakan kisah pertarungannya untuk bertahan hidup di alam liar yang keras.

Namun, yang tidak diketahui oleh siapa pun selama bertahun-tahun adalah bahwa insiden baling-baling kapal itu juga menyebabkan kerusakan internal yang lebih tersembunyi: tulang rusuk kirinya ikut rusak. "Yang tidak kami ketahui adalah bahwa tulang rusuknya juga rusak akibat cedera itu," ungkap Dr. Isberg. Bagian yang mengejutkan adalah bahwa semua luka, termasuk tulang rusuk yang patah, "sembuh sempurna" secara eksternal. Tidak ada tanda-tanda infeksi aktif atau bekas luka baru yang terlihat di permukaan, yang membuat cedera internal ini luput dari perhatian selama berpuluh-puluh tahun. Baru saat proses nekropsi—bedah bangkai hewan—dilakukan, para ahli menemukan bukti kerusakan tersembunyi ini. Mereka mengamati bahwa tulang rusuk kiri Cassius membengkak dan lebih panjang dibandingkan dengan tulang rusuk kanannya, sebuah anomali yang menjadi petunjuk kunci untuk mengungkap misteri infeksi yang telah lama tersembunyi.

Kisah hidup Cassius sendiri adalah sebuah legenda. Ia ditangkap pada tahun 1984 di Sungai Finniss, dekat Darwin, setelah dikenal sebagai buaya jantan dominan yang menunjukkan perilaku teritorial yang kuat dan sering berkonflik dengan buaya lain di wilayahnya. Penangkapan buaya sebesar Cassius adalah operasi besar yang membutuhkan perencanaan matang dan tenaga ahli. Setelah berhasil ditangkap, ia diangkut melalui perjalanan darat dan kapal yang melelahkan, melintasi sebagian besar wilayah Australia Utara, sebelum akhirnya tiba di rumah barunya di Marineland Melanesia pada tahun 1987. Karena ukuran dan kekuatannya yang luar biasa, ia diberi nama Cassius Clay, sebuah penghormatan kepada legenda tinju dunia, Muhammad Ali, yang nama lahirnya adalah Cassius Marcellus Clay Jr. Nama ini mencerminkan karakternya yang perkasa dan tak terkalahkan.

Selama bertahun-tahun, Cassius memegang gelar bergengsi dari Guinness World Records sebagai buaya terbesar di dunia yang dipelihara di penangkaran. Kehadirannya menarik ribuan pengunjung dari seluruh dunia yang ingin menyaksikan secara langsung keagungan makhluk purba ini. Meskipun pada akhirnya gelar tersebut direbut oleh buaya air asin yang lebih besar lagi bernama Lolong dari Filipina pada tahun 2012, warisan Cassius sebagai salah satu buaya paling terkenal dan dihormati tetap tak tergoyahkan. Ia adalah simbol kekuatan alam dan daya tarik tak terbantahkan dari reptil raksasa ini.

Kini, meskipun Cassius telah tiada, warisannya tetap hidup dan terus menginspirasi. Untuk menghormati kehidupannya yang panjang dan penuh peristiwa, serta untuk memungkinkan publik terus belajar dari keberadaannya, tubuh buaya raksasa Australia ini telah diawetkan secara hati-hati. Jasadnya, yang masih menunjukkan tanda-tanda pertempuran masa lalunya dengan baling-baling kapal—kaki kiri dan ujung ekornya yang hilang—baru-baru ini tiba kembali di Marineland Melanesia. Di sana, ia kini dipajang dalam pameran baru, berdiri tegak sebagai monumen hidup bagi kehidupannya yang luar biasa. Cassius bukan hanya sekadar buaya; ia adalah sebuah pelajaran hidup, sebuah bukti ketahanan alam, dan pengingat akan misteri yang masih tersimpan di dunia fauna yang luas. Kematiannya, yang kini telah terungkap penyebabnya, menambah babak baru dalam pemahaman kita tentang keajaiban dan kompleksitas kehidupan di antara salah satu predator puncak planet ini.