Dunia industri game global berduka atas kepergian salah satu arsitek visioner yang paling berpengaruh, Vince Zampella. Bos Respawn Entertainment milik EA dan mantan kepala Infinity Ward ini meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan tragis di Los Angeles, Amerika Serikat. Kepergiannya pada usia 55 tahun meninggalkan kekosongan mendalam, namun warisannya, terutama dalam membentuk lanskap game tembak-menembak (shooter) modern, akan terus hidup. Kisah Zampella adalah epik tentang ambisi, inovasi, konflik, dan kebangkitan, sebuah narasi yang secara fundamental mengubah bagaimana kita bermain dan memandang video game.
Lahir pada tahun 1970, perjalanan Zampella di dunia pengembangan game dimulai pada pertengahan 1990-an, sebuah era di mana industri ini masih meraba-raba potensinya. Ia menghabiskan tahun-tahun formatifnya memproduksi game untuk berbagai publisher, termasuk Atari, mengasah keahliannya dalam desain, produksi, dan manajemen proyek. Pengalaman awal ini memberinya fondasi yang kuat, memungkinkannya memahami seluk-beluk industri yang berkembang pesat. Pada awal tahun 2000-an, bakatnya menarik perhatian Electronic Arts (EA), raksasa yang pada saat itu sudah menjadi pemain dominan.
Di bawah payung EA, Zampella diberi kesempatan untuk memimpin pengembangan sebuah proyek yang akan menjadi sangat krusial: Medal of Honor: Allied Assault. Bekerja sama dengan desainer berbakat Jason West, Zampella memimpin studio 2015 untuk menciptakan salah satu game tembak-menembak Perang Dunia II yang paling ikonik dan berpengaruh pada masanya. Dirilis pada tahun 2002, Allied Assault tidak hanya sukses secara komersial tetapi juga diakui secara kritis. Game ini membenamkan pemain dalam medan perang Eropa yang brutal, dengan misi-misi yang terinspirasi oleh peristiwa nyata seperti pendaratan D-Day di Pantai Omaha. Detail grafis yang revolusioner untuk zamannya, alur cerita yang intens, dan gameplay yang imersif menetapkan standar baru untuk genre tersebut. Allied Assault tidak hanya sekadar game; itu adalah pengalaman sinematik yang membawa kekejaman dan kepahlawanan Perang Dunia II ke layar komputer. Kesuksesannya seharusnya menjadi gerbang menuju seri yang lebih besar dan ambisius.
Namun, takdir berkata lain. Meskipun Medal of Honor: Allied Assault meraih kesuksesan gemilang, EA secara mengejutkan menunjukkan kurangnya minat untuk mengembangkan penerusnya di bawah studio 2015. Alasan pasti di balik keputusan EA ini masih menjadi spekulasi, tetapi beberapa sumber internal dan pengamat industri menduga bahwa perbedaan visi kreatif, pergeseran prioritas internal, atau bahkan kebijakan lisensi dan kepemilikan intelektual mungkin menjadi faktor. Bagi Zampella dan timnya, penolakan ini terasa seperti pukulan telak. Mereka telah menciptakan sebuah mahakarya, namun pintu untuk melanjutkan warisan tersebut seolah tertutup rapat.
Dari kekecewaan itulah benih-benih revolusi ditanam. Merasa terhambat dan tidak dihargai, Zampella dan sekitar 20 rekan kerjanya, termasuk Jason West, mengambil keputusan berani: mereka mengundurkan diri dari studio 2015. Ini bukan hanya sekadar resign; ini adalah eksodus massal para talenta terbaik. Dengan semangat membara dan keyakinan akan visi mereka, kelompok ini mendirikan studio baru bernama Infinity Ward. Langkah ini adalah pertaruhan besar, namun mereka memiliki modal yang tak ternilai: pengalaman, talenta, dan tekad untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar baru.
Tak lama setelah didirikan, Infinity Ward menarik perhatian Activision, salah satu penerbit game terbesar di dunia. Activision melihat potensi dalam tim yang baru terbentuk ini dan segera menggaet mereka untuk menciptakan sebuah game yang, secara terang-terangan, digadang-gadang akan menjadi "MOH killer" – sebuah game yang akan menyaingi dan bahkan melampaui Medal of Honor. Dengan dukungan Activision dan kebebasan kreatif yang lebih besar, Zampella dan timnya mulai mengerjakan proyek rahasia yang kemudian dikenal sebagai Call of Duty. Dirilis pada tahun 2003, Call of Duty pertama ini adalah sebuah deklarasi. Alih-alih hanya berfokus pada satu pahlawan tunggal, CoD memperkenalkan perspektif berganda dari berbagai prajurit dari pihak Sekutu—Amerika, Inggris, dan Soviet—menyoroti kengerian perang dari berbagai sudut pandang. Inovasi ini, ditambah dengan grafis yang memukau dan gameplay yang intens, segera mencuri perhatian publik dan kritikus. Call of Duty bukan hanya sekadar game baru; ia adalah evolusi dari genre shooter Perang Dunia II, menetapkan standar baru untuk realisme dan penceritaan.
Di bawah kepemimpinan Zampella, Infinity Ward terus mengukir prestasi. Call of Duty 2, yang dirilis pada tahun 2005, menjadi salah satu judul peluncuran utama untuk konsol Xbox 360, menunjukkan potensi generasi berikutnya dan memperkuat dominasi CoD di pasar. Namun, puncak inovasi di era awal ini datang dengan Call of Duty 4: Modern Warfare pada tahun 2007. Game ini adalah sebuah revolusi. Zampella dan timnya mengambil langkah berani dengan meninggalkan latar Perang Dunia II yang jenuh dan beralih ke konflik kontemporer fiktif. Modern Warfare memperkenalkan narasi yang mendalam dan sinematik, karakter yang ikonik seperti Kapten Price, dan mode multiplayer yang mengubah industri. Sistem progresi, killstreaks, dan kustomisasi senjata menjadi standar emas yang ditiru oleh banyak game setelahnya. Modern Warfare tidak hanya memperkuat posisi Call of Duty sebagai salah satu seri game paling populer hingga saat ini, tetapi juga secara fundamental mengubah ekspektasi pemain terhadap game tembak-menembak, baik dalam kampanye single-player maupun pengalaman multiplayer. Itu adalah mahakarya yang tak terbantahkan, sebuah bukti nyata dari visi Zampella dan West.
Namun, di puncak kejayaan, konflik internal mulai muncul. Pada tahun 2009, setelah kesuksesan monumental Modern Warfare 2, Vince Zampella dan Jason West dipecat secara mengejutkan oleh Activision. Pemecatan ini memicu perselisihan hukum yang sengit dan sangat dipublikasikan, melibatkan tuduhan pelanggaran kontrak, perebutan royalti, dan masalah kendali atas kekayaan intelektual. Drama di meja hijau ini mengungkap keretakan yang mendalam antara para kreator dan penerbit, serta menciptakan gelombang kejutan di seluruh industri game. Banyak pengembang di Infinity Ward merasa solidaritas dengan Zampella dan West, yang kemudian menyebabkan eksodus besar-besaran talenta dari studio tersebut. Insiden ini menjadi peringatan keras tentang kompleksitas hubungan antara studio pengembang dan penerbit besar.
Meski demikian, Zampella adalah sosok yang pantang menyerah. Setelah periode perselisihan hukum yang panjang dan melelahkan, ia dan West, bersama dengan sejumlah pengembang yang mengundurkan diri dari Infinity Ward, kembali ke Electronic Arts untuk mendirikan studio baru pada tahun 2010: Respawn Entertainment. Ini adalah babak kedua yang luar biasa dalam karir Zampella, sebuah kesempatan untuk membangun kembali dari awal dengan pelajaran pahit yang telah dipetik.
Di bawah bendera Respawn, Zampella kembali membuktikan kehebatannya. Studio ini melahirkan serangkaian game yang inovatif dan sangat dihormati. Dimulai dengan seri Titanfall, yang memperkenalkan mekanik parkour dan pertarungan robot raksasa yang inovatif, Respawn menunjukkan kemampuannya untuk berinovasi di genre shooter. Meskipun Titanfall tidak mencapai sukses komersial seperti Call of Duty, ia mendapatkan pujian kritis yang luas dan membangun basis penggemar yang setia. Kemudian datanglah Apex Legends pada tahun 2019, sebuah game battle royale free-to-play yang dirilis secara tak terduga dan langsung meledak menjadi fenomena global, bersaing langsung dengan Fortnite dan PUBG. Keberhasilan Apex Legends membuktikan kemampuan Respawn untuk beradaptasi dengan tren pasar sambil tetap mempertahankan kualitas gameplay yang tinggi. Tidak berhenti di situ, Respawn juga memproduksi Star Wars Jedi: Fallen Order pada tahun 2019 dan sekuelnya Jedi: Survivor pada tahun 2023. Game-game ini adalah kembalinya game aksi-petualangan single-player berbasis cerita yang kuat dalam semesta Star Wars, mendapatkan pujian karena narasi yang mendalam, desain level yang cerdas, dan sistem pertarungan yang memuaskan.
Belakangan, Zampella juga menjadi sosok berpengaruh dalam pengembangan game Battlefield 6, sebuah ironi yang menarik mengingat sejarahnya dengan Call of Duty dan persaingannya dengan Battlefield. Perannya kemungkinan besar melibatkan pengawasan kreatif atau konsultasi strategis, menunjukkan betapa dihormatinya visi dan keahliannya di seluruh industri, bahkan oleh pesaing lama.
Namun, kini perjalanan inovasi Zampella telah berakhir. Ia meninggal pada usia 55 tahun, setelah Ferrari 296 GTX berwarna merah yang ia kemudikan menabrak pembatas beton di jalan raya dengan kecepatan tinggi. Kecelakaan tragis itu merenggut nyawanya di tempat kejadian, sementara seorang penumpang yang bersamanya di mobil meninggal setelah dibawa ke rumah sakit. Kepergiannya yang mendadak adalah kehilangan besar bagi industri yang telah ia bentuk dan pengaruhi secara mendalam selama lebih dari dua dekade.
Vince Zampella bukan hanya seorang pengembang game; ia adalah seorang visioner, seorang pemimpin, dan seorang pemberontak yang tidak pernah takut untuk menantang status quo. Dari kekecewaan di balik penolakan Medal of Honor oleh EA, ia memicu kelahiran Call of Duty yang revolusioner. Dari pemecatan yang pahit oleh Activision, ia bangkit kembali dengan Respawn Entertainment untuk menciptakan mahakarya baru. Warisannya terukir dalam sejarah game, dari koridor Perang Dunia II di Allied Assault hingga medan perang modern di CoD 4, dari robot raksasa di Titanfall hingga arena battle royale di Apex Legends, dan saga Jedi yang mendalam. Kepergiannya adalah pengingat pahit akan kerapuhan hidup, namun karyanya akan terus menginspirasi generasi pengembang dan gamer yang akan datang. Dunia game telah kehilangan seorang raksasa, tetapi jejak langkahnya akan selalu menjadi mercusuar inovasi.
