0

6 Dari 10 Pembeli Pernah Kena Zonk Saat Belanja Online.

Share

Momen liburan akhir tahun, terutama dengan adanya festival belanja online masif seperti Harbolnas, selalu menjadi magnet bagi jutaan konsumen di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya menandai puncak aktivitas e-commerce, tetapi juga merefleksikan semakin dalamnya adopsi platform belanja digital dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun, di balik gemerlap diskon dan kemudahan bertransaksi, tersimpan sebuah ironi yang mengikis kepercayaan konsumen: masih banyak hal mendasar yang perlu diperbaiki terkait kepuasan pelanggan dalam ekosistem belanja online. Sebuah survei terbaru yang dilakukan oleh Blibli, salah satu pemain e-commerce terkemuka di Indonesia, mengungkap fakta mencengangkan bahwa pengalaman belanja online tidak selalu mulus, bahkan seringkali berujung pada kekecewaan atau yang populer disebut "zonk".

Blibli, dalam upayanya untuk memahami lebih dalam dinamika kepuasan pengguna e-commerce, melakukan survei komprehensif yang melibatkan 800 digital savvy di berbagai kota besar di Indonesia. Hasil survei ini menyoroti "titik buta" yang selama ini mungkin terabaikan oleh banyak platform. Temuan yang paling menonjol adalah bahwa enam dari sepuluh pengguna internet yang aktif berbelanja online pernah mengalami pengalaman buruk atau "zonk" saat bertransaksi di berbagai platform digital. Angka ini secara terang-terangan menunjukkan bahwa meskipun ekosistem digital terus berkembang pesat, kualitas pengalaman konsumen masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi industri.

Nazrya Octora, Head of PR Blibli, yang akrab disapa Ria, menjelaskan lebih lanjut mengenai temuan survei ini dalam sebuah media gathering. Ria memaparkan bahwa tingkat kendala yang dialami pengguna sangat bervariasi tergantung pada jenis platform yang digunakan. Marketplace, sebagai platform yang mempertemukan berbagai penjual individu, mencatat tingkat kendala tertinggi mencapai 91%. Disusul oleh supermarket online dengan 84%, platform Home & Living sebesar 81%, dan online travel agent (OTA) dengan 78%. Data ini mengindikasikan bahwa semakin beragamnya penjual dan produk dalam satu platform, serta kompleksitas logistik dan kualitas produk, semakin tinggi pula potensi munculnya masalah bagi konsumen.

Yang lebih menarik dan krusial dari temuan survei ini adalah bahwa sebagian besar, tepatnya 64%, dari kendala tersebut dialami konsumen setelah mereka melakukan pembayaran. Blibli menyimpulkan bahwa "titik buta" utama dalam pengalaman e-commerce berada pada tahap pasca-belanja. Ini berarti, proses dari mulai memilih barang, memasukkan ke keranjang, hingga pembayaran, seringkali berjalan lancar dan menarik dengan berbagai promo. Namun, tantangan sesungguhnya muncul setelah uang berpindah tangan, yaitu pada tahap pemrosesan pesanan, pengiriman, dan penerimaan barang.

Ria memberikan beberapa contoh spesifik mengenai jenis "zonk" yang seringkali dialami konsumen. "Jadi mereka bilang barang palsu datang, barang nggak sesuai, barang telat datang, barang rusak. Jadi bahkan kadang ada yang datang tuh mirip banget yang tanda centangnya tapi mungkin centangnya agak meliuk-liuk gitu," ujarnya, menggambarkan betapa halus dan menipu beberapa kasus barang palsu yang nyaris identik dengan aslinya. Pengalaman-pengalaman ini tidak hanya menyebabkan kerugian materi, tetapi juga menimbulkan rasa frustrasi, kekecewaan, dan pada akhirnya, mengikis kepercayaan konsumen terhadap platform belanja online.

Menariknya, meskipun banyak konsumen mengalami "zonk", mayoritas dari mereka tidak tinggal diam. Survei Blibli menunjukkan bahwa 82% konsumen yang mengalami masalah melaporkan kendala tersebut ke platform terkait. Angka ini menegaskan bahwa konsumen masih memiliki harapan dan kepercayaan bahwa masalah mereka dapat diselesaikan oleh penyedia layanan. Lebih lanjut, 96% dari mereka memilih jalur resmi untuk melaporkan kendala, seperti melalui aplikasi atau situs web milik platform e-commerce. Hal ini menandakan adanya preferensi konsumen terhadap saluran komunikasi yang terstruktur dan dianggap kredibel oleh platform itu sendiri, dibandingkan dengan jalur-jalur non-resmi atau media sosial.

Ria menjelaskan bahwa Blibli memanfaatkan laporan-laporan dari konsumen tersebut sebagai bahan evaluasi yang sangat berharga untuk terus meningkatkan kualitas layanannya. Baginya, promo dan diskon, meskipun menarik, hanyalah "pemanis" dalam pengalaman belanja online. Pada akhirnya, yang paling dibutuhkan dan dicari oleh konsumen adalah kepastian dan kepercayaan. Konsumen menginginkan jaminan bahwa barang yang mereka pesan akan tiba sesuai ekspektasi, dalam kondisi baik, dan tepat waktu. Kepastian inilah yang menjadi fondasi utama bagi loyalitas pelanggan jangka panjang.

Berangkat dari pemahaman mendalam ini, Blibli telah merumuskan dan menerapkan lima jaminan utama bagi para penggunanya, yang dirancang secara khusus untuk mengatasi berbagai "titik buta" dan kendala pasca-belanja yang diidentifikasi dalam survei. Jaminan-jaminan ini bukan sekadar janji, melainkan komitmen Blibli untuk memberikan pengalaman belanja online yang aman, nyaman, dan memuaskan:

  1. Hanya Menyediakan Barang Original atau Asli: Blibli sangat berkomitmen untuk memerangi peredaran barang palsu. Jaminan keaslian produk ini menjadi sangat krusial, terutama mengingat salah satu keluhan utama konsumen adalah penerimaan barang palsu atau tidak sesuai deskripsi. Dengan jaminan ini, konsumen dapat berbelanja dengan tenang tanpa khawatir akan kualitas dan keaslian produk yang dibeli.
  2. Pengiriman Tepat Waktu: Keterlambatan pengiriman adalah salah satu penyebab frustrasi terbesar bagi konsumen. Blibli memahami pentingnya efisiensi logistik dan berupaya keras untuk memastikan setiap pesanan sampai ke tangan pelanggan sesuai jadwal yang dijanjikan. Ini tidak hanya tentang kecepatan, tetapi juga tentang prediktabilitas dan keandalan.
  3. Opsi Mengembalikan Barang dengan Alasan Apapun: Jaminan ini memberikan fleksibilitas dan keamanan ekstra bagi konsumen. Jika barang yang diterima tidak sesuai harapan, rusak, atau bahkan jika konsumen berubah pikiran, mereka memiliki hak untuk mengembalikan barang tanpa proses yang berbelit-belit. Kebijakan pengembalian yang mudah ini secara signifikan mengurangi risiko belanja online dan membangun kepercayaan.
  4. Customer Service yang Responsif dan Bukan AI: Di era otomatisasi, banyak platform yang beralih ke layanan pelanggan berbasis kecerdasan buatan (AI). Namun, Blibli menyadari bahwa untuk masalah-masalah yang kompleks dan sensitif, sentuhan manusia masih sangat dibutuhkan. Jaminan ini menegaskan komitmen Blibli untuk menyediakan layanan pelanggan yang responsif, empati, dan mampu memberikan solusi yang personal dan efektif, bukan sekadar jawaban otomatis.
  5. Gratis Perlindungan Lengkap: Ini adalah salah satu jaminan yang paling digemari dan sangat diapresiasi oleh konsumen, terutama untuk pembelian barang-barang berharga seperti gadget atau elektronik. Ria menjelaskan, "ini juga salah satu yang paling digemari di kami adalah gratis perlindungan lengkap. Jadi kalau mereka tuh pengennya, kalau di survey tersebut, mereka pengen kalau beli gadget atau elektronik, ada dong yang namanya asuransi tanpa biaya tambahan bahan. Ini permintaan-permintaannya customer." Jaminan ini memberikan rasa aman tambahan bagi konsumen, melindungi investasi mereka dari risiko kerusakan, kehilangan, atau insiden tak terduga lainnya tanpa biaya tambahan.

Inisiatif Blibli ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma dalam industri e-commerce. Jika sebelumnya fokus utama adalah pada perang harga dan volume transaksi, kini perhatian mulai bergeser pada kualitas pengalaman secara keseluruhan, terutama pada tahap pasca-pembelian. Kepuasan konsumen, yang didasari oleh kepastian dan jaminan, terbukti menjadi faktor kunci dalam membangun loyalitas dan mempertahankan pangsa pasar.

Temuan survei Blibli ini menjadi alarm penting bagi seluruh pelaku industri e-commerce di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa meskipun pertumbuhan adopsi digital sangat pesat, tantangan fundamental terkait kepercayaan dan kepuasan konsumen masih perlu diatasi secara serius. Perusahaan yang mampu memahami dan merespons kebutuhan mendalam konsumen akan kepastian dan perlindungan, seperti yang ditunjukkan oleh Blibli, kemungkinan besar akan menjadi pemimpin di masa depan. Pada akhirnya, di tengah riuhnya persaingan diskon dan promo, jaminan kualitas, keandalan, dan layanan purna jual yang prima akan menjadi pembeda utama yang menentukan pilihan konsumen. Dengan demikian, pengalaman belanja online yang bebas "zonk" bukan lagi sekadar harapan, melainkan sebuah standar yang harus dipenuhi untuk membangun ekosistem digital yang berkelanjutan dan berpusat pada konsumen.