0

Website Tawarkan Kencan ‘Intim’ Bak Drama Korea, Polisi Turun Tangan

Share

Pesona drama Korea telah lama memikat hati jutaan orang di seluruh dunia, menyajikan kisah romantis yang menghangatkan hati dan membangun fantasi akan cinta yang ideal. Namun, sebuah situs web di Brasil diduga memanfaatkan fantasi romantis ini untuk tujuan eksploitasi seksual, memicu penyelidikan cepat dari pihak kepolisian dan otoritas konsuler. Situs bernama Kdramadate ini menjanjikan pengalaman kencan yang tak hanya romantis, tetapi juga berpotensi mengarah pada ‘hubungan yang lebih intim’ dengan pria Korea, menciptakan kegemparan dan kekhawatiran serius di tengah komunitas Korea di Brasil.

Pusat dari kontroversi ini adalah Rikito Morikawa, seorang warga negara Jepang berusia 23 tahun, yang dituduh mendalangi bisnis ilegal ini. Morikawa digambarkan sebagai seorang model internasional dari Hiroshima, fasih dalam empat bahasa, dan sangat antusias terhadap budaya Brasil. Dalam profilnya di situs web, ia mengklaim ‘membawa keajaiban drama Korea ke kehidupan nyata,’ sebuah klaim yang kini berujung pada tuduhan eksploitasi seksual yang serius. Penyelidikan atas Kdramadate ini menjadi sorotan utama, terutama karena potensi penyalahgunaan budaya pop dan kerentanan individu.

Fenomena Hallyu, atau gelombang budaya Korea, telah menyapu dunia dengan drama, musik, dan filmnya yang menawan. Di balik layar kaca, banyak penggemar, terutama wanita, mendambakan sosok ‘oppa’ (kakak laki-laki dalam bahasa Korea yang juga sering digunakan untuk merujuk pada kekasih idaman) seperti yang mereka saksikan dalam serial favorit mereka. Konsep ini, yang berakar pada idealisasi romansa dan pesona karakter pria Korea, menjadi landasan utama promosi Kdramadate. Situs ini secara terang-terangan mengizinkan klien untuk "hidup dalam fantasi Kdrama mereka" dengan membayar pria Korea yang direkrut di Sao Paulo, Brasil. Ini adalah titik krusial di mana imajinasi berbenturan dengan realitas komersialisasi dan potensi eksploitasi.

Kdramadate tidak main-main dalam menyusun penawaran layanannya. Situs web ini menawarkan empat paket kencan yang dirancang untuk memenuhi berbagai tingkat keinginan klien. Paket-paket tersebut meliputi: kencan santai di kedai kopi di kota, makan malam romantis di restoran steak tradisional Korea, jalan-jalan menyenangkan di taman, atau yang paling kontroversial, "pengalaman intim" di motel atau kediaman pribadi. Harga yang dipatok untuk layanan ini juga bervariasi; tangkapan layar yang diajukan sebagai pengaduan ke konsulat menunjukkan harga untuk satu jam pertemuan intim adalah BRL 70 (sekitar Rp 212.000), sementara tiga jam dipatok BRL 170 (sekitar Rp 516.000). Penawaran ini bukan hanya tentang pertemuan fisik, tetapi juga tentang menciptakan ilusi. Melansir dari Bored Panda, perusahaan tersebut bahkan menjanjikan bahwa klien akan dibisikkan dialog dari serial TV populer atau berpose untuk pemotretan ala drama Korea bersama ‘pasangan kencan’ mereka, semakin memperkuat fantasi yang ingin dijual.

Komersialisasi pertemuan-pertemuan ini bukan sekadar transaksi biasa, melainkan sebuah tindakan yang telah menarik perhatian serius dari otoritas diplomatik dan komunitas Korea di Brasil. Konsulat Jenderal Republik Korea Selatan di Sao Paulo dan Asosiasi Warga Korea Brasil dengan cepat bergerak untuk menyelidiki masalah ini. Testimoni dari klien yang mengaku telah membeli paket tersebut dan menghabiskan waktu bersama para ‘oppa’ semakin memperkuat dugaan adanya praktik eksploitasi. Situs web tersebut menampilkan ulasan positif yang seolah melegitimasi layanan yang ditawarkan, padahal di baliknya tersembunyi potensi pelanggaran hukum yang serius.

Pada 23 Oktober, Konsulat Jenderal Republik Korea Selatan mengeluarkan peringatan pertamanya untuk Kdramadate, meminta calon korban atau siapa pun yang memiliki informasi terkait untuk segera menghubungi mereka. Beberapa hari kemudian, setelah menganalisis kesaksian dan bukti lebih lanjut, lembaga tersebut menyatakan bahwa situs web tersebut melibatkan kejahatan eksploitasi seksual. Pernyataan ini menunjukkan bahwa bukti yang terkumpul cukup kuat untuk mengklasifikasikan kegiatan Kdramadate sebagai tindakan kriminal.

Di Brasil, garis antara legalitas dan ilegalitas dalam layanan seksual cukup jelas. Prostitusi didefinisikan sebagai tindakan menawarkan layanan seksual oleh individu dewasa dan dianggap legal selama dilakukan secara sukarela dan oleh orang dewasa. Pelaku prostitusi bahkan diizinkan untuk memberikan kontribusi ke INSS (Lembaga Jaminan Sosial Brasil) sebagai pekerja mandiri. Namun, eksploitasi seksual adalah kasus yang berbeda dan secara tegas ilegal. Eksploitasi seksual melibatkan komersialisasi layanan seksual yang disediakan oleh orang lain, baik orang tersebut dewasa maupun anak di bawah umur. Dalam kasus Kdramadate, Rikito Morikawa diduga bertindak sebagai perantara yang mengkomersialkan layanan seksual yang diberikan oleh pria Korea yang direkrutnya, sehingga memenuhi definisi eksploitasi seksual yang ilegal. Ini bukan sekadar tentang individu yang menawarkan layanan, tetapi tentang pihak ketiga yang mengambil keuntungan dari layanan tersebut.

Upaya penelusuran lebih lanjut mengungkap taktik licik dari sang pelaku. Bruno Kim, presiden Asosiasi Warga Korea Brasil, bersama Rafael Kang, seorang pengacara kriminal dari konsulat, pergi ke alamat yang dipublikasikan oleh Kdramadate. Mereka menemukan bahwa alamat tersebut bukanlah kantor pusat perusahaan, melainkan Pusat Kebudayaan Hiroshima. Pusat kebudayaan tersebut kemudian mengirimkan pemberitahuan di luar pengadilan kepada Rikito, yang kemudian segera menghapus alamat tersebut dari situs webnya dan menggantinya dengan alamat lain, menunjukkan upaya untuk menghindari pelacakan dan akuntabilitas.

Menurut pengacara yang terlibat dalam kasus ini, Rikito Morikawa tidak hanya menunggu klien datang, tetapi juga aktif merekrut. Setidaknya sepuluh anak muda keturunan Korea diduga telah diundang oleh Rikito untuk bekerja sama dengannya melalui berbagai platform komunikasi, termasuk Instagram, WhatsApp, dan panggilan telepon. Proses rekrutmen ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang kerentanan para pemuda tersebut, yang mungkin tertarik dengan janji uang atau kesempatan, tanpa sepenuhnya memahami risiko hukum dan etika yang terlibat. Banyak di antara mereka mungkin adalah imigran atau mahasiswa yang menghadapi tekanan ekonomi, membuat mereka lebih mudah menjadi target eksploitasi.

Kasus Kdramadate ini lebih dari sekadar pelanggaran hukum; ia menyoroti sisi gelap dari popularitas budaya pop dan bagaimana fantasi dapat dieksploitasi untuk keuntungan finansial. Ini juga memunculkan pertanyaan tentang tanggung jawab platform media sosial dalam mengidentifikasi dan menindak aktivitas rekrutmen ilegal semacam ini. Di samping itu, ada kekhawatiran tentang citra komunitas Korea di Brasil dan bagaimana insiden semacam ini dapat memengaruhi pandangan masyarakat terhadap mereka. Peristiwa ini berfungsi sebagai pengingat pahit bahwa di balik pesona dan gemerlap budaya Hallyu, selalu ada risiko penyalahgunaan yang membutuhkan kewaspadaan dan tindakan tegas dari semua pihak.

Dengan investigasi yang terus bergulir, pihak berwenang Brasil, didukung oleh Konsulat Korea Selatan dan komunitas lokal, bertekad untuk mengungkap sepenuhnya praktik ilegal ini dan membawa Rikito Morikawa ke pengadilan. Kasus ini menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang mencoba memanfaatkan popularitas budaya atau kerentanan individu demi keuntungan pribadi melalui cara-cara yang melanggar hukum dan etika. Perlindungan terhadap warga negara, penegakan hukum, dan penjagaan integritas budaya tetap menjadi prioritas utama dalam menghadapi fenomena eksploitasi semacam ini.