0

Viral Air Terjun Tiba-tiba Muncul di Sembalun, Ini Penjelasannya Secara Geologi

Share

Fenomena alam selalu memiliki daya tarik tersendiri, apalagi jika kemunculannya mendadak dan dramatis. Baru-baru ini, jagat maya dihebohkan dengan kemunculan air terjun dadakan di kawasan Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Video dan foto yang beredar luas menunjukkan aliran air deras yang tiba-tiba meluncur dari tebing-tebing bukit yang biasanya kering kerontang. Pemandangan tak biasa ini sontak memicu beragam reaksi, mulai dari kekaguman, kebingungan, hingga kekhawatiran di kalangan masyarakat. Bahkan, fenomena ini dijuluki ‘gunung menangis’ karena tampak seolah-olah air mengalir dari dinding gunung yang selama ini dikenal gersang.

Kehebohan di media sosial ini tidak terlepas dari visual yang menakjubkan sekaligus membingungkan. Dalam sekejap, unggahan mengenai "air terjun Sembalun" membanjiri lini masa, menarik jutaan pasang mata. Banyak yang bertanya-tanya, bagaimana mungkin sebuah bukit yang biasanya hanya ditumbuhi vegetasi kering bisa tiba-tiba mengeluarkan aliran air sebesar itu? Narasi yang menyertainya pun beragam, dari yang mengaitkannya dengan pertanda alam, mitos lokal, hingga spekulasi tentang aktivitas geologi yang berbahaya. Apalagi, kemunculan fenomena ini datang di tengah serangkaian bencana alam yang melanda beberapa wilayah di Indonesia, sehingga kekhawatiran bahwa ini adalah sinyal bahaya baru menjadi semakin kuat di benak sebagian orang.

Namun, di tengah gelombang spekulasi dan kekhawatiran, pihak berwenang, khususnya Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dengan cepat memberikan penjelasan ilmiah. Penjelasan ini bertujuan untuk menepis segala bentuk kesalahpahaman dan kekhawatiran yang tidak berdasar. Menurut Badan Geologi, peristiwa spektakuler ini bukanlah tanda aktivitas vulkanik yang membahayakan, bukan pula gejala alam yang aneh atau pertanda bencana. Sebaliknya, fenomena air terjun dadakan di Sembalun adalah sebuah proses alam yang wajar dan dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan kondisi geologi dan hidrologi setempat.

Secara ilmiah, pemicu utama kemunculan air terjun sementara ini adalah intensitas hujan yang sangat tinggi dan berlangsung secara terus-menerus selama beberapa hari. "Aliran tersebut muncul karena selama sekitar empat hari terjadi hujan berturut-turut dan mencapai puncaknya pada Senin (8/12), sehingga debit limpasan meningkat dan air tampak jatuh membentuk ‘air terjun’ pada tebing-tebing bukit yang berlereng curam," tulis Badan Geologi Kementerian ESDM melalui akun Instagram resminya. Curah hujan yang ekstrem membuat kapasitas tanah untuk menyerap air (infiltrasi) menjadi terlampaui. Akibatnya, sebagian besar air hujan tidak sempat meresap ke dalam tanah, melainkan mengalir di permukaan sebagai limpasan air (surface runoff) dengan volume yang sangat besar.

Kondisi hidrologi ini diperkuat oleh karakteristik geologi perbukitan di kawasan Sembalun. Wilayah ini didominasi oleh batuan vulkanik, khususnya breksi vulkanik dan aliran lava. Batuan jenis ini memiliki sifat yang relatif kedap air atau impermeabel. Untuk memahami ini, kita bisa membayangkan perbedaan antara spons yang sangat mudah menyerap air, dengan permukaan batu yang padat dan licin yang hampir tidak menyerap air sama sekali. Batuan vulkanik di Sembalun cenderung lebih mirip permukaan batu yang padat dan licin tersebut.

Breksi vulkanik adalah jenis batuan sedimen yang terbentuk dari fragmen-fragmen batuan vulkanik yang lebih besar, yang kemudian terkonsolidasi atau tersemen menjadi satu. Meskipun mungkin ada pori-pori antar fragmen, seringkali pori-pori tersebut terisi oleh material halus atau tersemen dengan baik, sehingga secara keseluruhan mengurangi permeabilitasnya. Sementara itu, aliran lava yang telah membeku menjadi batuan beku ekstrusif umumnya sangat padat dan memiliki sedikit pori-pori yang saling berhubungan. Struktur batuan yang padat ini membuat air sangat sulit untuk meresap ke dalamnya, terutama dalam jumlah besar dan waktu yang singkat.

Ketika hujan deras turun di atas permukaan batuan yang kedap air seperti ini, air hujan tidak memiliki banyak pilihan selain mengalir di permukaan. Topografi Sembalun yang dicirikan oleh lereng-lereng bukit yang curam semakin mempercepat proses limpasan ini. Air mengalir mengikuti alur-alur alami, retakan, atau depresi di lereng bukit, yang kemudian berkumpul menjadi aliran yang lebih besar. Ketika aliran ini mencapai tepi tebing atau lereng yang sangat terjal, ia akan jatuh bebas membentuk air terjun sementara. Air terjun semacam ini sering disebut sebagai air terjun episodik atau air terjun musiman, karena kemunculannya sangat bergantung pada curah hujan yang tinggi.

Penting untuk membedakan fenomena ini dengan air terjun permanen yang biasanya memiliki sumber mata air yang stabil dan terus-menerus. Air terjun di Sembalun ini sepenuhnya bergantung pada pasokan air dari limpasan hujan. Oleh karena itu, sifatnya adalah sementara. Ketika hujan mulai mereda dan pasokan air berkurang, debit limpasan akan menurun drastis, dan air terjun tersebut perlahan-lahan akan menghilang dengan sendirinya, kembali meninggalkan tebing-tebing yang kering seperti sediakala.

"Fenomena ‘air terjun dadakan’ di Sembalun adalah proses alami akibat hujan deras berhari-hari yang menghasilkan limpasan besar pada bukit-bukit curam. Karena batuannya relatif kedap air, aliran muncul sesaat sebagai air terjun lalu hilang ketika hujan berhenti," demikian kesimpulan tegas dari Badan Geologi, menegaskan kembali bahwa ini adalah bagian dari siklus hidrologi yang wajar di lingkungan geologi tertentu.

Meskipun pemandangan "gunung menangis" ini tampak dramatis dan bahkan sedikit menyeramkan bagi sebagian orang, masyarakat diminta untuk tidak panik. Penjelasan ilmiah yang diberikan oleh Badan Geologi seharusnya dapat meredakan kekhawatiran yang tidak berdasar. Namun demikian, kewaspadaan tetap diperlukan. Bukan karena fenomena air terjun itu sendiri adalah tanda bahaya, melainkan karena kondisi lingkungan yang memicunya. Hujan lebat yang ekstrem, yang menyebabkan limpasan permukaan besar, selalu membawa potensi risiko.

Risiko-risiko yang perlu diwaspadai antara lain adalah jalan yang menjadi sangat licin, terutama di daerah pegunungan yang berliku dan curam. Material-material seperti kerikil, lumpur, atau bahkan ranting pohon dapat terbawa oleh limpasan air yang deras, yang berpotensi membahayakan pengguna jalan atau penduduk di sekitar aliran air. Selain itu, medan lereng yang curam, yang menjadi lokasi air terjun ini, juga rentan terhadap erosi, longsoran kecil, atau jatuhnya batuan jika tanah di permukaannya menjadi jenuh air dan tidak stabil. Oleh karena itu, saat terjadi hujan lebat, sangat disarankan untuk menghindari area-area lereng curam, membatasi aktivitas di luar ruangan, dan selalu memantau informasi cuaca dari sumber yang terpercaya.

Fenomena air terjun dadakan di Sembalun ini menjadi pengingat penting akan dinamika alam yang kompleks dan saling terkait antara iklim, geologi, dan hidrologi. Ini juga menyoroti peran krusial lembaga ilmiah seperti Badan Geologi dalam memberikan edukasi dan informasi yang akurat kepada publik, terutama di era digital di mana informasi (dan disinformasi) dapat menyebar dengan sangat cepat. Memahami proses-proses alam semacam ini tidak hanya meredakan kekhawatiran yang tidak perlu, tetapi juga meningkatkan kesadaran kita akan lingkungan sekitar dan pentingnya mitigasi risiko yang tepat. Dengan pemahaman yang baik, kita dapat terus mengagumi keindahan dan kekuatan alam tanpa harus diliputi rasa takut yang tidak berdasar, sembari tetap menjaga kewaspadaan terhadap potensi bahaya yang sesungguhnya.