0

Tips Aman Memberi Gadget ke Anak Menurut Praktisi Montessori

Share
Daftar Isi


Jakarta
Dalam era digital yang terus berkembang pesat, isu pemberian gadget kepada anak menjadi salah satu topik perdebatan hangat di kalangan orang tua. Perangkat elektronik, yang dulu dianggap sebagai barang mewah, kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, bahkan dalam konteks pendidikan. Namun, di balik kemudahan dan aksesibilitasnya, muncul pertanyaan krusial: bagaimana orang tua dapat memperkenalkan gadget kepada anak dengan cara yang aman, bijak, dan mendukung tumbuh kembang mereka?

Reza Permana, seorang praktisi Montessori yang juga dikenal sebagai parenting content creator, membagikan wawasannya yang mendalam mengenai pendekatan yang tepat. Menurut Reza, langkah fundamental bagi setiap orang tua adalah menetapkan tujuan yang jelas dan spesifik di balik keputusan memberikan gadget kepada anak. Tanpa tujuan yang terdefinisi, orang tua berisiko terjebak dalam tekanan sosial atau keputusan yang tidak selaras dengan kebutuhan anak.

“Gadget itu pada dasarnya hanya alat bantu. Tujuannya bisa sangat beragam, mulai dari memfasilitasi komunikasi, mendukung proses belajar, hingga mengembangkan minat atau bakat tertentu yang dimiliki anak,” jelas Reza saat sebuah workshop iPad di Jakarta. “Selama kita memiliki tujuan yang kuat dan jelas, setiap keputusan yang kita ambil sebagai orang tua terkait penggunaan gadget akan menjadi lebih tepat dan terarah.” Pandangan ini sangat sejalan dengan filosofi Montessori yang menekankan pada ‘tujuan’ atau ‘purpose’ di balik setiap aktivitas, memastikan bahwa setiap interaksi anak dengan lingkungannya, termasuk teknologi, memiliki makna dan kontribusi positif terhadap perkembangannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menentukan Tujuan yang Jelas: Fondasi Penggunaan Gadget yang Bijak

Pentingnya menetapkan tujuan tidak hanya membantu orang tua dalam membuat keputusan awal, tetapi juga dalam mengelola dan mengawasi penggunaan gadget sehari-hari. Reza menyoroti bahwa banyak orang tua yang keliru dalam memberikan gadget karena terpengaruh oleh tren atau perbandingan dengan lingkungan sekitar. “Apakah anak tetangga punya? Apakah teman-teman sekolahnya sudah pakai?” Pertanyaan-pertanyaan ini sering kali mengaburkan tujuan utama dan menggantinya dengan keinginan untuk ‘menyamai’ atau ‘tidak tertinggal’.

Padahal, jika tujuan utama adalah untuk mendukung pembelajaran, maka pilihan aplikasi, durasi penggunaan, dan jenis perangkat akan disesuaikan. Misalnya, jika tujuannya adalah melatih koordinasi mata dan tangan, orang tua dapat memilih game edukasi interaktif. Jika untuk mengembangkan kreativitas, aplikasi menggambar atau membuat musik bisa menjadi pilihan. Dengan tujuan yang jelas, gadget berubah dari sekadar hiburan pasif menjadi instrumen pembelajaran aktif yang disesuaikan dengan fase perkembangan dan minat unik setiap anak.

Kesiapan Anak, Bukan Sekadar Usia Kronologis

Salah satu poin penting yang ditekankan oleh Reza Permana adalah bahwa kesiapan anak dalam menggunakan gadget tidak semata-mata diukur dari usia, melainkan dari capaian tumbuh kembangnya secara holistik. Prinsip Montessori sangat menghargai perkembangan individu, dan ini berlaku pula dalam konteks pengenalan teknologi. “Anak dianggap lebih siap mengonsumsi media digital ketika mereka telah mampu berkomunikasi dua arah secara efektif, memahami instruksi sederhana, dan memiliki perbendaharaan kosakata dasar yang memadai,” papar Reza.

Kemampuan-kemampuan ini menunjukkan bahwa anak sudah memiliki kapasitas kognitif untuk memproses informasi dari layar, memahami konteks, dan bahkan berinteraksi dengan konten secara lebih bermakna. Reza menyebutkan bahwa rata-rata usia 2 hingga 3 tahun bisa menjadi titik awal pengenalan *screen time*, baik itu melalui televisi maupun tablet. Namun, ia menekankan pentingnya pendampingan penuh dari orang tua. “Pendampingan ini krusial. Bukan hanya membiarkan anak menonton, tapi ikut berinteraksi, menjelaskan apa yang mereka lihat, dan mengajukan pertanyaan untuk merangsang pemikiran mereka,” tambahnya.

Pendekatan ini selaras dengan prinsip Montessori mengenai “lingkungan yang disiapkan” (prepared environment), di mana lingkungan digital juga harus disiapkan dengan cermat untuk mendukung perkembangan anak. Selain faktor perkembangan, Reza juga menyinggung aspek pendidikan formal. Banyak sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga menengah, kini telah mengadopsi perangkat seperti iPad sebagai bagian dari kurikulum pembelajaran. Perangkat ini dinilai lebih aman, mudah dikontrol, dan memiliki ekosistem aplikasi edukasi yang kaya dibandingkan gadget lain.

“iPad relatif lebih aman dari sisi sistem dan kontrol orang tua yang terintegrasi,” kata Reza. Namun, ia realistis bahwa kondisi ekonomi dan aturan rumah tangga setiap keluarga berbeda. “Bahkan, berbagi gadget antara orang tua dan anak bukanlah masalah, asalkan disesuaikan dengan kebutuhan, disepakati aturannya, dan tetap mengedepankan nilai-nilai yang dianut keluarga,” imbuhnya, menegaskan bahwa fleksibilitas dan adaptasi adalah kunci.

Tips Aman Memberi Gadget ke Anak Menurut Praktisi Montessori

Reza Permana, Praktisi Montessori sekaligus Parenting Content RreatorReza Permana, Praktisi Montessori sekaligus Parenting Content Rreator Foto: Adi Fida Rahman/detikINET

Keteladanan Orang Tua: Cermin Perilaku Digital Anak

Dalam mengelola *screen time* anak, Reza Permana menegaskan bahwa keteladanan orang tua memegang peran paling vital. Aturan seketat apa pun akan menjadi sulit diterapkan jika orang tua tidak menunjukkan konsistensi dalam perilaku digital mereka sendiri. Anak-anak adalah peniru ulung; mereka belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat daripada apa yang mereka dengar.

“Jika kita ingin anak tidak bermain HP saat makan, maka orang tua juga harus menyingkirkan gadgetnya dari meja makan,” ujar Reza dengan lugas. Situasi ini sering terjadi di banyak keluarga, di mana orang tua sibuk dengan ponsel sementara menuntut anak untuk fokus pada makanan atau interaksi keluarga. Kontradiksi ini dapat membingungkan anak dan mengurangi efektivitas aturan yang ditetapkan.

Reza menyarankan orang tua untuk secara sengaja meluangkan waktu bermain tanpa layar bersama anak, bahkan jika hanya 15 hingga 30 menit per hari. Waktu berkualitas ini sangat penting agar anak merasa diperhatikan secara utuh, tanpa gangguan dari notifikasi atau pekerjaan digital. Interaksi langsung, bermain peran, membaca buku, atau sekadar bercengkrama tanpa distraksi gadget, akan membangun ikatan emosional yang kuat dan menunjukkan kepada anak bahwa ada banyak hal menarik di luar dunia digital.

Membangun Batasan yang Jelas dan Fleksibel: Keseimbangan Durasi

Menciptakan batasan yang sehat dalam penggunaan gadget adalah langkah krusial. Reza Permana menyarankan orang tua untuk membuat kesepakatan verbal dengan anak terkait durasi penggunaan gadget. “Misalnya, kita bisa sepakat untuk 40 menit per hari,” katanya. Pendekatan ini melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan, membuat mereka merasa dihargai dan lebih mungkin untuk mematuhi aturan karena mereka ikut berpartisipasi dalam menyepakatinya.

Kesepakatan verbal ini juga mengajarkan anak tentang konsep batasan dan konsekuensi secara mandiri. Namun, Reza juga menekankan pentingnya pendekatan yang fleksibel, yang ia sebut sebagai ‘leniency’ atau kelonggaran. Jika anak sedang asyik dengan aktivitas edukatif atau kreatif yang bermanfaat, orang tua bisa memberikan tambahan waktu 5-10 menit sebagai bentuk kompromi. “Pendekatan ini menunjukkan bahwa orang tua memahami dan menghargai keterlibatan anak, menciptakan suasana yang lebih demokratis dan mengurangi potensi konflik,” jelas Reza.

Konsistensi memang penting, tetapi fleksibilitas yang bijak dapat memperkuat hubungan orang tua-anak. Dengan begitu, anak tidak merasa kaku atau tertekan oleh aturan yang mutlak, melainkan belajar tentang negosiasi dan manajemen waktu yang adaptif. Penggunaan alat bantu seperti timer pada perangkat (misalnya Apple Watch yang digunakan Reza) bisa sangat membantu dalam menjaga konsistensi, namun sekali lagi, intervensi dan komunikasi orang tua tetap menjadi inti dari keberhasilan strategi ini.

iPadiPad Foto: Adi Fida Rahman/detikINET

Mengelola Transisi dan Mencegah Tantrum

Salah satu tantangan terbesar bagi orang tua adalah menghadapi tantrum anak saat waktu *screen time* berakhir. Untuk menghindarinya, Reza Permana memberikan strategi bertahap yang efektif. Kuncinya adalah peringatan dini dan bertahap. “Orang tua disarankan untuk memberikan pemberitahuan 5-10 menit sebelum waktu selesai,” saran Reza. Namun, penting untuk memastikan anak benar-benar mendengar dan memahami peringatan tersebut, misalnya dengan melakukan kontak mata langsung atau memegang tangannya saat berbicara.

Jika anak masih ingin menyelesaikan satu level permainan atau menonton segmen terakhir dari video edukasi, berikan kesempatan singkat. “Kita bisa bilang, ‘Oke, satu level lagi ya, setelah itu selesai.’ Ini mengajarkan anak tentang penyelesaian tugas dan menghargai batasan,” jelas Reza. Namun, jika tantrum tetap terjadi, Reza menyarankan agar orang tua tetap tenang. “Kalau anak marah atau menangis, itu wajar. Biarkan mereka mengekspresikan emosinya. Validasi perasaan mereka, ‘Mama/Papa tahu kamu sedih/marah karena harus berhenti main gadget,'” imbuhnya.

Tips Aman Memberi Gadget ke Anak Menurut Praktisi Montessori

Setelah emosi anak mulai mereda, segera tawarkan aktivitas alternatif yang menarik dan melibatkan orang tua, seperti membaca buku bersama, bermain balok, atau keluar rumah sebentar. Pendekatan ini mengalihkan fokus anak dari kekecewaan menjadi antusiasme pada kegiatan lain. Reza mengingatkan bahwa pembentukan kebiasaan ini tidak bisa instan dan memerlukan proses jangka panjang serta kesabaran yang konsisten dari orang tua.

Kurasi Konten dan Aplikasi: Memaksimalkan Manfaat Edukasi

Agar gadget benar-benar memberikan manfaat maksimal bagi anak, Reza Permana menekankan pentingnya kurasi aplikasi dan konten secara cermat. Ini bukan hanya tentang membatasi, tetapi juga tentang memilih yang terbaik dan paling relevan. “Orang tua perlu menentukan tujuan penggunaan gadget terlebih dahulu, baru kemudian memilih aplikasi yang selaras dengan tujuan tersebut dan kebutuhan perkembangan anak,” tegasnya.

Sebagai contoh, untuk anak yang sedang dalam fase belajar membaca, Reza hanya mengizinkan beberapa aplikasi edukasi yang terbukti efektif dan beberapa aplikasi komunikasi yang aman untuk berinteraksi dengan keluarga. Orang tua juga harus proaktif dalam mencoba aplikasi tersebut terlebih dahulu, memastikan kontennya aman, bebas dari iklan yang mengganggu, dan sesuai dengan usia serta tahap perkembangan anak. Pengaturan kontrol orang tua pada perangkat juga harus diaktifkan secara optimal untuk membatasi akses ke konten yang tidak pantas.

Selain seleksi awal, evaluasi rutin melalui fitur data *screen time* yang tersedia di banyak perangkat pintar juga sangat penting. Data ini dapat memberikan gambaran jelas tentang aplikasi apa yang paling sering diakses anak dan berapa lama durasinya. Dengan informasi ini, orang tua dapat menyesuaikan kebiasaan penggunaan gadget anak seiring bertambahnya usia, minat, dan kebutuhan belajar mereka. Kurasi yang berkelanjutan adalah investasi dalam pendidikan digital anak.

Kehadiran Orang Tua yang Tak Tergantikan: Lebih Menarik dari Gadget

Di akhir diskusinya, Reza Permana memberikan penegasan yang sangat mendasar: teknologi, dengan segala kecanggihannya, tidak boleh dan tidak akan pernah bisa menggantikan peran fundamental orang tua dalam tumbuh kembang anak. “Pada akhirnya, gadget hanyalah sebuah alat. Orang tua harus mampu menjadi sosok yang lebih menarik dan inspiratif bagi anak dibandingkan daya tarik gadget itu sendiri,” pungkasnya.

Pernyataan ini menyoroti esensi dari pola asuh di era digital. Hubungan yang kuat, interaksi yang hangat, dan waktu berkualitas yang dihabiskan bersama adalah fondasi yang tak tergantikan. Gadget dapat menjadi pelengkap, alat bantu, atau bahkan jembatan menuju pengetahuan, tetapi ia tidak bisa menggantikan pelukan, cerita pengantar tidur, atau percakapan yang mendalam. Orang tua memiliki kekuatan untuk membentuk perspektif anak terhadap teknologi, mengubahnya dari potensi gangguan menjadi alat yang bermanfaat.

Dengan pendekatan yang sadar, terarah, dan dievaluasi secara berkala, *screen time* tidak perlu menjadi momok yang menakutkan. Justru sebaliknya, gadget dapat bertransformasi menjadi sarana belajar yang bermakna, mendukung kreativitas, dan memperkaya pengalaman anak, selama digunakan secara bijak, dengan pendampingan penuh, dan dalam konteks keluarga yang penuh kasih dan komunikasi. Kunci utamanya adalah keseimbangan, kesadaran, dan kehadiran orang tua yang utuh.

(afr/afr)