0

Terkuak! Ini Penyebab Kematian Buaya Raksasa Cassius

Share
Daftar Isi


Dunia konservasi dan ilmu pengetahuan dikejutkan oleh kabar duka setahun lalu, ketika Cassius, buaya air asin raksasa yang diyakini sebagai salah satu buaya tertua dan terbesar di dunia, menghembuskan napas terakhirnya. Misteri seputar kematian mendadak sang legenda kini terkuak setelah melalui pemeriksaan pascakematian yang mendalam. Hasil autopsi mengungkap bahwa penyebab kematian Cassius adalah infeksi dorman yang berasal dari luka lama, tersembunyi selama lebih dari empat dekade dalam tubuhnya, sebelum akhirnya pecah di usia senja.

Sosok Legendaris: Cassius si Raksasa Air Asin

Cassius adalah spesimen buaya air asin (Crocodylus porosus) yang luar biasa. Dengan panjang tubuh mencapai sekitar 18 kaki atau setara 5,5 meter, ia bukan hanya buaya terbesar yang hidup di penangkaran, tetapi juga sempat memegang gelar Guinness World Record sebagai buaya terbesar di dunia hingga tahun 2012. Ia diperkirakan berusia sekitar 120 tahun saat meninggal dunia pada tahun lalu, menjadikannya salah satu reptil tertua yang pernah didokumentasikan. Selama puluhan tahun terakhir hidupnya, Cassius menjadi ikon di Taman Buaya Marineland di Green Island, Queensland, Australia, di mana ia dirawat dengan penuh kasih sayang dan menjadi daya tarik utama bagi para pengunjung dari seluruh dunia. Ia dikenal memiliki temperamen yang tenang di penangkaran, meskipun masa mudanya di alam liar penuh dengan pertarungan sengit.

Misteri Kematian yang Tak Terduga

Kematian Cassius pada tahun lalu datang sebagai kejutan besar bagi para perawat dan peneliti. Selama bertahun-tahun, buaya raksasa ini tampak dalam kondisi prima, aktif, dan tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit serius. Ia makan dengan lahap, bergerak lincah, dan menunjukkan perilaku normal seperti buaya sehat lainnya. Bahkan, Sally Isberg, direktur pengelola Pusat Penelitian Buaya di Darwin, yang memimpin tim postmortem, sempat mengunjungi Cassius hanya 17 hari sebelum kematiannya dan menyimpulkan bahwa buaya tersebut berada dalam kondisi “bahagia dan sehat.” Ketiadaan gejala inilah yang membuat kematiannya menjadi sebuah misteri yang mendalam, memicu pertanyaan besar di kalangan ilmuwan dan publik.

Retrospeksi Luka Lama: Jejak Pertarungan Masa Muda

Untuk memahami penyebab kematian Cassius, tim peneliti dari Pusat Penelitian Buaya di Darwin melakukan nekropsi (autopsi pada hewan) yang cermat. Hasilnya mengungkap fakta mengejutkan yang membawa mereka kembali ke masa lalu Cassius. Infeksi mematikan tersebut ternyata berasal dari cedera berat yang dialami Cassius saat ia masih hidup liar di alam bebas. Diperkirakan pada masa mudanya, Cassius terlibat dalam pertarungan sengit dengan buaya jantan lain untuk memperebutkan wilayah atau betina, atau mungkin mengalami kecelakaan traumatis. Akibat insiden tersebut, ia kehilangan kaki depan kirinya, sebuah luka yang menjadi saksi bisu kerasnya kehidupan di rawa-rawa liar.

Pada tahun 1984, setelah hidup dengan cedera tersebut selama bertahun-tahun, Cassius akhirnya ditangkap di Wilayah Utara Australia dan dibawa ke penangkaran. Pada saat itu, luka pada kakinya telah sembuh secara fisik, namun kerusakan internal yang lebih parah ternyata tersembunyi. “Yang tidak kami ketahui sebelumnya adalah bahwa cedera itu juga merusak rongga dadanya,” jelas Isberg kepada ABC News. Kerusakan pada rongga dada inilah yang menjadi awal mula dari masalah kesehatan yang akhirnya merenggut nyawanya puluhan tahun kemudian.

Penemuan Mengejutkan: Infeksi Dorman dalam Fibrosis

Pemeriksaan pascakematian mengungkapkan bahwa tulang rusuk kiri Cassius tampak membengkak secara signifikan dibandingkan sisi kanannya. Pembengkakan ini bukan sekadar cedera tulang, melainkan tempat bersarangnya jaringan fibrosis yang tebal dan keras. Fibrosis ini adalah mekanisme pertahanan unik pada reptil, berbeda dengan abses yang terbentuk pada mamalia. Pada mamalia, abses adalah kantung berisi nanah yang terbentuk sebagai respons terhadap infeksi. Namun, pada reptil seperti buaya, sistem kekebalan tubuh mereka merespons infeksi kronis dengan membentuk selubung jaringan ikat fibrosa yang sangat padat. Selubung ini berfungsi sebagai “kapsul” alami yang secara efektif mengisolasi dan membungkus bakteri atau patogen lain agar tidak menyebar ke seluruh tubuh. Ini adalah adaptasi evolusioner yang memungkinkan reptil untuk bertahan hidup dari cedera atau infeksi yang mungkin fatal bagi spesies lain, seringkali tanpa menunjukkan gejala eksternal selama bertahun-tahun.

Dalam kasus Cassius, selubung fibrosa ini telah berhasil menahan infeksi bakteri yang membandel di dalam rongga dadanya selama lebih dari empat dekade. Ini adalah bukti luar biasa dari ketahanan tubuh buaya dan efektivitas mekanisme fibrosis mereka. Namun, ketahanan ini memiliki batasnya.

Terkuak! Ini Penyebab Kematian Buaya Raksasa Cassius

Ketika Pertahanan Tubuh Meluruh: Pecahnya Fibrosis di Usia Senja

Menurut Sally Isberg, fibrosis yang telah lama menahan infeksi tersebut akhirnya pecah karena satu faktor utama: usia. Seiring bertambahnya usia Cassius, yang diperkirakan mencapai 120 tahun, kemampuan sel-sel tubuhnya untuk memperbarui diri dan mempertahankan integritas jaringan menurun drastis. Proses penuaan alami menyebabkan degradasi seluler dan melemahnya struktur jaringan pelindung. “Sel-selnya tidak lagi mampu mempertahankan pembentukan selubung fibrosa di sekitar infeksi,” jelas Isberg.

Ketika lapisan pelindung yang vital ini rusak, infeksi bakteri yang telah lama tersembunyi dan tertahan di dalam “kapsul” fibrosa langsung menyebar dengan cepat ke seluruh sistem tubuh Cassius. Penyebaran infeksi ini memicu kondisi yang dikenal sebagai sepsis. Sepsis adalah respons imun tubuh yang berlebihan dan berbahaya terhadap infeksi, yang dapat menyebabkan peradangan luas, kerusakan organ, dan akhirnya kegagalan multiorgan. Pada buaya, seperti halnya pada mamalia, sepsis adalah kondisi yang sangat mematikan dan seringkali berkembang dengan cepat setelah pemicu awal.

Yang paling mengejutkan adalah bahwa Cassius sama sekali tidak menunjukkan gejala penyakit sebelum kematiannya. Kondisi ini menyoroti kompleksitas fisiologi reptil dan kemampuan mereka untuk menyembunyikan tanda-tanda penyakit, bahkan ketika infeksi mematikan telah bersarang dalam tubuh mereka selama puluhan tahun. Hal ini juga menjadi tantangan besar dalam manajemen kesehatan hewan penangkaran, terutama untuk spesies berumur panjang.

Tantangan Mengukur Usia Buaya Raksasa

Setelah kematian Cassius, tim peneliti juga mengambil salah satu tulang pahanya dengan harapan dapat memperkirakan usia secara lebih akurat melalui analisis cincin pertumbuhan tulang. Pada banyak hewan, termasuk reptil, tulang membentuk cincin pertumbuhan yang mirip dengan lingkaran tahun pada pohon, yang dapat memberikan petunjuk tentang usia. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil pasti.

Isberg menjelaskan bahwa suhu lingkungan yang sangat stabil di Taman Buaya Marineland, tempat Cassius tinggal selama sekitar 40 tahun, membuat cincin pertumbuhan tulang sulit terbentuk. Pada buaya, cincin pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi metabolisme, yang erat kaitannya dengan perubahan suhu lingkungan dan ketersediaan makanan. Di lingkungan penangkaran yang terkontrol, dengan suhu dan pasokan makanan yang konsisten, fluktuasi metabolisme minimal, sehingga pertumbuhan tulang lebih seragam dan cincin pertumbuhan tidak terbentuk dengan jelas. Pihak taman sebelumnya merayakan ulang tahun ke-120 Cassius pada tahun 2023. Namun, angka tersebut merupakan estimasi maksimal, mengingat Cassius diperkirakan berusia antara 30 hingga 80 tahun saat pertama kali ditangkap dari alam liar pada tahun 1984.

Warisan Cassius: Dari Alam Liar Hingga Pameran Abadi

Meskipun telah tiada, warisan Cassius akan terus hidup. Jasadnya telah diawetkan melalui proses taksidermi yang rumit, memungkinkan sosok buaya legendaris ini untuk tetap “hadir” di Marineland Crocodile Park. Setelah diawetkan, Cassius telah dikembalikan ke rumahnya di taman tersebut dan akan dipamerkan kepada publik. Pameran ini tidak hanya berfungsi sebagai penghormatan terhadap salah satu buaya paling ikonik yang pernah hidup di Australia, tetapi juga sebagai alat edukasi yang berharga. Pengunjung dapat mempelajari lebih lanjut tentang biologi buaya air asin, tantangan konservasi, serta kisah hidup Cassius yang luar biasa, dari buaya perkasa di alam liar hingga penghuni penangkaran yang dicintai.

Pelajaran Berharga dari Sang Buaya Tua

Kasus Cassius menjadi contoh langka sekaligus ekstrem tentang bagaimana infeksi dorman pada reptil dapat bertahan puluhan tahun tanpa gejala, sebelum akhirnya berubah menjadi kondisi fatal di usia lanjut. Ini memberikan wawasan penting bagi ilmuwan tentang kekebalan tubuh reptil dan proses penuaan pada hewan berumur panjang. Penemuan ini juga menggarisbawahi kompleksitas diagnosis dan penanganan penyakit pada satwa liar, terutama yang memiliki kemampuan luar biasa untuk menyembunyikan kondisi kesehatan mereka. Dari alam liar yang brutal hingga kehidupan di penangkaran yang aman, Cassius telah memberikan pelajaran berharga tentang ketahanan, adaptasi, dan misteri kehidupan di antara makhluk purba ini. Kisahnya akan terus menginspirasi peneliti dan pecinta hewan untuk lebih memahami dan melindungi buaya, salah satu predator puncak yang paling menakjubkan di planet ini, demikian dilansir dari Live Science.

(afr/afr)