Jakarta – Industri kesehatan digital atau healthtech di Indonesia tengah menyaksikan pergeseran fokus yang signifikan, dengan segmen kesehatan pria muncul sebagai target pasar strategis baru. Fenomena ini didorong oleh kombinasi faktor unik: rendahnya tingkat kunjungan pria ke layanan kesehatan primer, meningkatnya tekanan hidup urban, serta kesenjangan layanan yang selama ini belum tergarap secara optimal oleh model kesehatan konvensional. Para pelaku startup telehealth kini melihat ceruk pasar yang kaya potensi di tengah kondisi yang paradoks ini.
Berbagai data dan studi menunjukkan adanya tantangan struktural yang mendalam dalam kesehatan pria di Indonesia. Salah satu statistik yang mencolok adalah sekitar 35,6% pria dewasa di Indonesia dilaporkan mengalami disfungsi ereksi (DE), sebuah kondisi yang tidak hanya memengaruhi kualitas hidup individu tetapi juga sering kali menjadi indikator adanya masalah kesehatan mendasar lainnya seperti penyakit kardiovaskular atau diabetes. Di sisi lain, tekanan mental juga menjadi isu krusial; lebih dari separuh pekerja di kawasan Jabodetabek menghadapi tekanan mental berat, mencerminkan dampak gaya hidup urban yang serba cepat dan kompetitif. Selain itu, tren obesitas dan penurunan kadar testosteron di wilayah perkotaan turut memperbesar beban kesehatan kelompok usia produktif, yang seringkali tidak disadari atau diabaikan hingga mencapai tahap lanjut.
Kondisi tersebut menciptakan sebuah paradoks yang menarik bagi industri digital health: kebutuhan kesehatan yang tinggi di kalangan pria, namun dengan utilisasi layanan yang rendah. Kesenjangan ini bukan sekadar celah, melainkan sebuah peluang pasar yang signifikan bagi startup yang mampu menawarkan solusi inovatif, terutama melalui pendekatan layanan jarak jauh yang mengutamakan privasi, efisiensi waktu, dan personalisasi. Pria, secara umum, cenderung lebih enggan untuk membahas masalah kesehatan yang dianggap sensitif, seperti kesehatan seksual atau mental, dalam setting tatap muka tradisional.
Mengapa Pria Usia 30-55 Tahun Menjadi Segmen Strategis?
Segmen pria usia 30-55 tahun dinilai sebagai target yang sangat strategis. Kelompok demografi ini umumnya memiliki karakteristik yang mendukung adopsi layanan telehealth: daya beli yang memadai, tingkat melek digital yang tinggi, serta terbiasa dengan layanan berbasis aplikasi dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Namun, di saat yang sama, mereka juga kerap menunjukkan keengganan untuk mengakses layanan kesehatan secara tatap muka, terutama untuk isu-isu yang dianggap pribadi atau tabu. Stigma sosial, kurangnya waktu akibat kesibukan pekerjaan, dan keinginan untuk menjaga kerahasiaan menjadi faktor pendorong utama keengganan tersebut.
Telehealth hadir sebagai solusi yang relevan secara perilaku konsumen untuk mengatasi hambatan-hambatan ini. Model konsultasi jarak jauh dinilai mampu menurunkan hambatan psikologis, memungkinkan pria untuk mencari pertolongan medis dari kenyamanan rumah atau kantor mereka, tanpa perlu khawatir akan penilaian atau keterbatasan waktu. Pendekatan ini juga mengakomodasi gaya hidup urban yang serba cepat, di mana efisiensi waktu menjadi prioritas utama. Bagi startup healthtech, perubahan preferensi konsumen ini menandai pergeseran penting dari reactive care (penanganan saat sakit) menuju preventive dan managed care (pencegahan dan pengelolaan kesehatan jangka panjang) berbasis data.
Sjati.com: Pionir Layanan Kesehatan Pria Terintegrasi
Sjati.com, sebuah platform kesehatan digital yang secara spesifik berfokus pada kesehatan pria, melihat peluang tersebut sebagai ruang untuk membangun layanan terintegrasi yang tidak hanya menjawab kebutuhan jangka pendek, tetapi juga mendorong keterlibatan pengguna secara berkelanjutan dalam perjalanan kesehatan mereka. Mereka memahami bahwa pria membutuhkan lebih dari sekadar diagnosis; mereka membutuhkan solusi holistik yang mencakup konsultasi, akses ke obat-obatan yang terstandarisasi, serta manajemen privasi yang ketat.
Pasar telehealth di Indonesia saat ini memang semakin kompetitif, dengan berbagai pemain besar yang menawarkan layanan kesehatan umum maupun spesifik. Namun, segmen kesehatan pria, terutama yang menggabungkan konsultasi medis, farmasi terstandarisasi, serta manajemen privasi dalam satu ekosistem yang terpadu, masih relatif niche. Ini menciptakan ruang bagi pemain seperti Sjati untuk membangun proposisi nilai yang unik dan kuat.
Sjati memposisikan diri bukan sekadar sebagai marketplace produk kesehatan, melainkan sebagai platform berbasis medis (medical-first platform). Pendekatan ini menekankan bahwa teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI) dimanfaatkan untuk membantu proses skrining awal dan efisiensi operasional, namun keputusan klinis yang fundamental tetap berada di tangan dokter berizin dan profesional medis yang kompeten. Ini adalah pendekatan yang dinilai krusial untuk menjaga kredibilitas, keamanan pasien, dan keberlanjutan bisnis di sektor yang sangat diatur seperti kesehatan.
Delonix, Marketing Director Sjati, menekankan pentingnya aspek ini: "Kepercayaan menjadi mata uang utama di layanan kesehatan digital. Tanpa kepatuhan medis dan regulasi, pertumbuhan jangka panjang akan sulit dicapai." Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa di era digital yang serba cepat, integritas dan kepatuhan terhadap standar medis dan regulasi adalah fondasi yang tak tergantikan.
Kepatuhan Regulasi sebagai Keunggulan Kompetitif
Pendekatan medical-first dan kepatuhan regulasi ini juga berpotensi menekan risiko reputasi dan regulasi yang kerap membayangi startup healthtech, khususnya di segmen kesehatan pria yang rentan disusupi produk atau layanan tidak terstandarisasi atau bahkan berbahaya. Konsumen seringkali mudah tergiur oleh solusi instan yang tidak memiliki dasar medis kuat, sehingga peran platform yang kredibel menjadi sangat vital.
Dalam konteks industri yang lebih luas, kepatuhan terhadap regulasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan etika medis mulai dipandang bukan hanya sebagai kewajiban, melainkan sebagai competitive advantage yang signifikan. Startup yang mampu membangun rantai pasok farmasi terverifikasi, mengelola rekam medis elektronik (RME) secara terenkripsi dan aman, serta memiliki mekanisme pelaporan efek samping yang transparan, dinilai lebih siap untuk skala bisnis jangka panjang. Kepatuhan ini juga membuka pintu bagi kolaborasi yang lebih erat dengan institusi kesehatan formal, rumah sakit, dan penyedia layanan kesehatan lainnya, yang pada akhirnya akan memperkuat ekosistem kesehatan secara keseluruhan.
Sjati berargumen bahwa regulasi, alih-alih menjadi penghambat, justru menjadi fondasi penting untuk menciptakan pasar yang sehat dan berkelanjutan. Regulasi membantu membedakan pemain serius yang berkomitmen pada standar kualitas dan keamanan dari penyedia layanan oportunistik yang mungkin hanya mencari keuntungan cepat tanpa memedulikan dampak jangka panjang terhadap pasien.
Masa Depan Telehealth untuk Kesehatan Pria
Dengan meningkatnya literasi digital di masyarakat, penetrasi smartphone yang semakin merata, serta tekanan hidup urban yang terus naik, layanan kesehatan pria berbasis telehealth diperkirakan akan menjadi salah satu pendorong pertumbuhan berikutnya di sektor healthtech Indonesia. Potensinya melampaui sekadar layanan kuratif atau pengobatan; peluang ke depan dinilai terletak pada pengembangan long-term health management yang komprehensif.
Ini mencakup pemantauan kesehatan hormonal secara berkala, pengelolaan kesehatan mental yang proaktif, serta edukasi preventif berbasis data yang dipersonalisasi. Bayangkan sebuah platform yang tidak hanya mengobati disfungsi ereksi, tetapi juga memberikan saran gaya hidup untuk mencegahnya, memantau tingkat testosteron, dan menawarkan sesi konseling untuk mengatasi stres yang mungkin menjadi pemicunya. Pendekatan semacam ini akan memberdayakan pria untuk mengambil kendali lebih besar atas kesehatan mereka sendiri.
Delonix menambahkan, "Telehealth memberi peluang untuk mengubah cara pria memandang kesehatan—dari sesuatu yang reaktif, hanya dicari saat sakit, menjadi investasi jangka panjang untuk kualitas hidup yang lebih baik." Pernyataan ini merangkum visi transformatif di balik gelombang baru startup telehealth yang menargetkan segmen kesehatan pria: bukan hanya mengisi kekosongan layanan, tetapi juga mengubah paradigma kesehatan pria di Indonesia menuju pendekatan yang lebih proaktif, personal, dan berkelanjutan.
