0

Seabad Lagi, Setengah Warga Kota Jepang Diprediksi Hilang: Resesi Seks dan Tantangan Masa Depan

Share

Jepang tengah menghadapi krisis demografi yang mengkhawatirkan. Penurunan angka kelahiran yang drastis, yang dikenal sebagai "resesi seks," telah memicu kekhawatiran di berbagai lapisan masyarakat, termasuk pemerintah. Untuk memahami akar permasalahan ini, Badan Anak dan Keluarga Jepang telah meluncurkan inisiatif baru berupa dialog dengan generasi muda.

Melalui konsultasi ini, badan tersebut bertujuan untuk menggali perspektif kaum muda mengenai pernikahan dan faktor-faktor yang memengaruhi keputusan mereka untuk menikah atau tidak. Pertemuan pertama difokuskan pada cara-cara untuk mendukung kaum muda dalam mencari pasangan, termasuk mengeksplorasi pilihan kencan dan perjodohan.

Menteri Negara untuk Kebijakan Anak, Ayuko Kato, menekankan pentingnya menghormati beragam nilai dan pilihan individu dalam hal pernikahan dan pengasuhan anak. "Kami ingin mendengar suara Anda yang sebenarnya – apa yang Anda pikirkan, apa yang menghalangi Anda mewujudkan keinginan Anda," ujar Kato kepada para peserta.

Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa sebagian besar orang Jepang lajang, khususnya mereka yang berusia 25 hingga 34 tahun, menghadapi kesulitan dalam bertemu calon pasangan. Kurangnya kesempatan dan ketidakaktifan dalam mencari hubungan menjadi alasan utama di balik kesulitan ini.

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya angka pernikahan di Jepang cukup beragam. Kekhawatiran utama meliputi tingginya biaya hidup di daerah perkotaan, terbatasnya kesempatan kerja, dan budaya kerja yang mempersulit perempuan untuk mempertahankan karier setelah melahirkan.

Seabad Lagi, Setengah Warga Kota Jepang Diprediksi Hilang: Resesi Seks dan Tantangan Masa Depan

Pemerintah Jepang telah berupaya mengatasi permasalahan ini dengan meluncurkan sejumlah program untuk mendorong pernikahan di kalangan anak muda. Salah satu program yang menarik perhatian adalah perjodohan dengan bantuan kecerdasan buatan (AI) dan penyediaan dukungan pengasuhan anak.

Namun, upaya pemerintah ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. Penurunan angka pernikahan di kalangan anak muda berdampak pada prediksi populasi di masa mendatang. Profesor Tomoya Mori dari Universitas Kyoto telah melakukan simulasi untuk memproyeksikan situasi kota-kota di Jepang pada tahun 2120. Hasilnya sangat mengkhawatirkan.

Dalam skenario terburuk, di mana angka kesuburan berada di tingkat terendah, jumlah kota yang tersedia hanya 42 untuk kota dengan 100.000 penduduk dan enam untuk kota dengan 500.000 penduduk. Artinya, setengah dari kota-kota di Jepang akan menghadapi "eradikasi" pada abad mendatang.

Situasi ini menunjukkan betapa seriusnya dampak resesi seks terhadap masa depan Jepang. Tantangan ini tidak hanya memengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi, tetapi juga struktur demografi negara tersebut. Pemerintah Jepang dihadapkan pada tugas berat untuk menemukan solusi yang efektif untuk mengatasi resesi seks dan memastikan kelangsungan hidup negara di masa depan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Angka Pernikahan di Jepang:

  • Tingginya Biaya Hidup: Biaya hidup di daerah perkotaan Jepang sangat tinggi, terutama untuk generasi muda yang baru memulai karier. Hal ini membuat mereka kesulitan untuk menabung dan mempersiapkan pernikahan.
  • Terbatasnya Kesempatan Kerja: Persaingan kerja di Jepang sangat ketat, terutama bagi kaum muda. Banyak yang merasa kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil dan berpenghasilan layak, yang merupakan faktor penting dalam pertimbangan untuk menikah.
  • Budaya Kerja yang Menantang: Budaya kerja di Jepang sangat menuntut, dengan jam kerja yang panjang dan tekanan yang tinggi. Hal ini membuat sulit bagi perempuan untuk menyeimbangkan karier dan kehidupan keluarga, terutama setelah melahirkan.
  • Kurangnya Kesempatan Bertemu Calon Pasangan: Generasi muda di Jepang seringkali kesulitan untuk bertemu calon pasangan, terutama di daerah perkotaan. Kurangnya kesempatan sosial dan waktu luang untuk bersosialisasi menjadi faktor penghambat.
  • Perubahan Nilai dan Pandangan: Nilai dan pandangan masyarakat Jepang mengenai pernikahan telah berubah. Banyak orang muda yang memilih untuk fokus pada karier dan hidup mandiri, daripada menikah dan memiliki anak.

Upaya Pemerintah Jepang untuk Mengatasi Resesi Seks:

  • Program Perjodohan dengan Bantuan AI: Pemerintah Jepang telah meluncurkan program perjodohan yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk membantu orang muda menemukan pasangan. Program ini bertujuan untuk mempermudah proses pencarian pasangan dan meningkatkan peluang untuk menemukan pasangan yang cocok.
  • Dukungan Pengasuhan Anak: Pemerintah Jepang juga menyediakan berbagai bentuk dukungan untuk orang tua yang memiliki anak, seperti subsidi pengasuhan anak dan fasilitas penitipan anak. Hal ini bertujuan untuk meringankan beban orang tua dan mendorong mereka untuk memiliki lebih banyak anak.

Dampak Resesi Seks terhadap Masa Depan Jepang:

  • Penurunan Populasi: Penurunan angka kelahiran akan menyebabkan penurunan populasi secara drastis di masa mendatang. Hal ini akan berdampak pada tenaga kerja, konsumsi, dan pertumbuhan ekonomi.
  • Seabad Lagi, Setengah Warga Kota Jepang Diprediksi Hilang: Resesi Seks dan Tantangan Masa Depan

  • Penuaan Penduduk: Seiring dengan penurunan angka kelahiran, proporsi penduduk lanjut usia akan meningkat. Hal ini akan meningkatkan beban sosial dan ekonomi, seperti biaya perawatan kesehatan dan jaminan sosial.
  • Penurunan Jumlah Kota: Penurunan populasi akan menyebabkan beberapa kota di Jepang mengalami "eradikasi" atau pengurangan jumlah penduduk yang signifikan. Hal ini akan berdampak pada infrastruktur, ekonomi, dan kehidupan sosial di daerah tersebut.

Resesi seks merupakan tantangan serius yang dihadapi Jepang. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menemukan solusi yang efektif untuk mengatasi permasalahan ini dan memastikan masa depan yang cerah bagi negara tersebut.