0

Satelit Starlink ‘Mati’ dan Terjun Bebas ke Bumi

Share

Jakarta – Salah satu satelit internet broadband Starlink milik SpaceX belum lama ini mengalami anomali serius di orbit pada Rabu (17/12), yang mengakibatkan hilangnya komunikasi dan dimulainya proses "terjun bebas" yang tak terkendali menuju atmosfer Bumi. Insiden ini melibatkan wahana Starlink yang mengorbit pada ketinggian sekitar 260 mil (418 kilometer) di atas permukaan Bumi, sebuah zona krusial bagi lalu lintas satelit dan Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).

Anomali yang terjadi pada satelit tersebut, menurut pihak Starlink, cukup signifikan. Laporan awal mengindikasikan adanya pelepasan gas dari tangki propulsi dan terlepasnya sejumlah kecil objek dengan kecepatan relatif rendah yang kini dapat dilacak. Deskripsi ini sangat mengisyaratkan bahwa tangki pendorong satelit Starlink mungkin pecah, mengalami kerusakan struktural, atau mengalami kegagalan sistem yang menyebabkan kehilangan kontrol dan kebocoran material. Kejadian semacam ini, meskipun diklaim minor oleh operator, selalu menjadi perhatian dalam komunitas antariksa karena potensi dampaknya terhadap lingkungan orbit.

Menanggapi insiden ini, SpaceX dengan cepat berkoordinasi dengan dua entitas kunci dalam pemantauan antariksa, yaitu NASA dan Angkatan Luar Angkasa Amerika Serikat (U.S. Space Force). Ketiganya bekerja sama secara aktif untuk memantau serpihan sampah antariksa yang baru terlepas akibat anomali tersebut. Meskipun demikian, Starlink berusaha menenangkan kekhawatiran publik dengan menegaskan bahwa tidak banyak yang perlu dikhawatirkan dari peristiwa ini.

"Satelit tersebut sebagian besar masih utuh, namun berputar tak terkendali. Kami memperkirakan ia akan masuk kembali ke atmosfer Bumi dan hancur sepenuhnya dalam beberapa minggu ke depan," jelas Starlink dalam pernyataan resminya. Mereka juga menambahkan, "Lintasan satelit saat ini akan menempatkannya di bawah Stasiun Luar Angkasa (ISS), sehingga tidak menimbulkan risiko bagi laboratorium orbit tersebut maupun awaknya." Pernyataan ini bertujuan untuk meredakan kekhawatiran akan potensi tabrakan dengan ISS atau ancaman bagi keselamatan manusia di luar angkasa.

Sebagai operator konstelasi satelit terbesar di dunia, Starlink menegaskan komitmennya yang kuat terhadap keselamatan luar angkasa. "Kami menanggapi peristiwa ini dengan sangat serius. Insinyur kami bekerja cepat untuk mencari akar masalah dan memitigasi sumber anomali. Kami juga dalam proses menerapkan pembaruan perangkat lunak ke wahana kami untuk meningkatkan perlindungan terhadap jenis kejadian seperti ini," imbuh Starlink. Respons proaktif ini menunjukkan upaya perusahaan untuk belajar dari insiden dan memperkuat sistem operasionalnya di masa mendatang.

Megakonstelasi Starlink sejauh ini memang merupakan yang terbesar dan paling ambisius yang pernah dibangun. Dengan hampir 9.300 satelit aktif yang mengelilingi Bumi, SpaceX mengoperasikan sekitar 65% dari seluruh wahana antariksa fungsional yang ada di orbit. Angka ini terus bertambah dengan kecepatan yang mencengangkan. Hanya dalam tahun ini saja, SpaceX telah meluncurkan 122 misi Starlink, mengirim lebih dari 3.000 satelit baru ke orbit rendah Bumi (LEO). Setiap satelit Starlink dirancang dengan masa pakai sekitar lima tahun, dan SpaceX memiliki kebijakan untuk melakukan deorbit setiap satelit secara terkendali sebelum masa pakainya habis atau mati total di orbit.

Kebijakan deorbit ini adalah bagian dari upaya SpaceX untuk memitigasi ancaman sampah antariksa yang ditimbulkan oleh konstelasi raksasa mereka. Sampah antariksa, yang terdiri dari pecahan satelit tua, tahap roket yang habis, dan puing-puing dari tabrakan, merupakan ancaman serius bagi infrastruktur luar angkasa yang vital. Objek-objek ini bergerak dengan kecepatan hipersonik, di mana bahkan sebutir cat kecil dapat menyebabkan kerusakan parah pada satelit atau pesawat luar angkasa berawak. Kekhawatiran akan "Kessler Syndrome" – sebuah skenario di mana tabrakan di orbit menciptakan lebih banyak puing, yang pada gilirannya menyebabkan lebih banyak tabrakan dan menciptakan sabuk puing yang tidak dapat dilewati – selalu menjadi momok dalam perencanaan misi luar angkasa.

Selain deorbit terkendali, SpaceX juga telah mengambil langkah-langkah lain yang inovatif untuk mengelola lalu lintas luar angkasa dan mengurangi risiko tabrakan. Misalnya, wahana Starlink memiliki kemampuan untuk menghindari potensi tabrakan secara otonom. Sistem ini menggunakan data pelacakan dan algoritma canggih untuk memprediksi lintasan dan secara otomatis menyesuaikan posisi satelit jika ada potensi mendekatnya objek lain. Dalam periode enam bulan terakhir, satelit Starlink dilaporkan telah melakukan sekitar 145.000 manuver penghindaran, sebuah angka yang mencengangkan dan menggambarkan betapa padatnya orbit rendah Bumi saat ini.

Namun, meskipun ada upaya mitigasi yang signifikan, ancaman tetap mengintai dan insiden-insiden yang mengkhawatirkan masih kerap terjadi. Pekan lalu misalnya, sebuah satelit yang baru saja disebar oleh roket China nyaris menabrak wahana Starlink, tampaknya tanpa memberikan peringatan sebelumnya. Kejadian ini menyoroti kurangnya koordinasi yang sistematis dan protokol komunikasi standar antara berbagai operator satelit di seluruh dunia.

Michael Nicolls, Wakil Presiden Teknik Starlink di SpaceX, secara blak-blakan menyuarakan keprihatinannya terkait insiden ini. "Sejauh yang kami tahu, tidak ada koordinasi yang dilakukan dengan satelit yang sudah beroperasi di luar angkasa, yang mengakibatkan pendekatan jarak dekat 200 meter antara salah satu satelit yang disebar dan STARLINK-6079 (56120) di ketinggian 560 km," kata Nicolls. Dia melanjutkan dengan tegas, "Sebagian besar risiko beroperasi di luar angkasa berasal dari kurangnya koordinasi antar operator satelit – hal ini harus berubah."

Pernyataan Nicolls menggarisbawahi tantangan terbesar dalam menjaga keberlanjutan ruang angkasa: kebutuhan akan regulasi global yang lebih kuat dan sistem manajemen lalu lintas ruang angkasa yang terkoordinasi. Dengan semakin banyaknya negara dan perusahaan swasta yang meluncurkan satelit, orbit Bumi menjadi semakin ramai. Tanpa aturan main yang jelas dan komunikasi yang efektif antar operator, risiko tabrakan yang dapat menghasilkan lebih banyak sampah antariksa akan terus meningkat. Ini bukan hanya masalah bagi operator satelit, tetapi juga bagi seluruh umat manusia yang bergantung pada infrastruktur luar angkasa untuk navigasi, komunikasi, ramalan cuaca, dan penelitian ilmiah.

Insiden satelit Starlink yang mengalami anomali dan terjun bebas ini, meskipun diyakini akan hancur di atmosfer tanpa menimbulkan bahaya di permukaan Bumi, tetap menjadi pengingat yang kuat akan kerapuhan lingkungan orbit kita. Ini adalah pengingat bahwa inovasi luar angkasa yang pesat harus diimbangi dengan tanggung jawab yang sama besarnya. Ke depan, komunitas antariksa internasional harus bekerja lebih keras untuk mengembangkan kerangka kerja yang komprehensif untuk keberlanjutan luar angkasa, memastikan bahwa generasi mendatang dapat terus memanfaatkan manfaat luar angkasa tanpa terhalang oleh warisan sampah dan kekacauan. Upaya SpaceX dalam pemantauan, perbaikan perangkat lunak, dan kebijakan deorbit yang ketat adalah langkah positif, namun tantangan koordinasi global dan regulasi yang efektif masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi semua pihak yang berkepentingan di luar angkasa.

(fyk/fyk)