0

Fenomena Tren AI Bubble, Dirut Telkomsel Ungkap Strategi Biar Tidak Terjebak

Share

Fenomena "AI bubble" atau gelembung kecerdasan artifisial kini menjadi topik hangat yang banyak diperbincangkan di berbagai forum global, seiring dengan lonjakan investasi dan ekspektasi yang tinggi terhadap teknologi revolusioner ini. Kekhawatiran akan potensi gelembung spekulatif ini muncul karena valuasi perusahaan-perusahaan AI yang melambung tinggi, terkadang tanpa didukung oleh model bisnis yang jelas atau profitabilitas yang terbukti. Menanggapi dinamika pasar yang bergejolak ini, Direktur Utama Telkomsel, Nugroho, memberikan pandangan yang bijak dan strategis. Ia menilai bahwa kemunculan potensi gelembung spekulatif adalah sesuatu yang lazim dan bahkan merupakan bagian dari siklus alami perkembangan teknologi, sebuah pola yang telah berulang kali terjadi dalam sejarah inovasi.

"Kalau ada sebuah hype, biasanya memang selalu ada potensi bubble," ujar Nugroho beberapa waktu lalu di Bandung, menggarisbawahi pola yang konsisten dalam evolusi teknologi. Ia merujuk pada beberapa contoh historis yang serupa, seperti "internet bubble" pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, di mana banyak perusahaan berbasis internet mengalami valuasi fantastis namun akhirnya kolaps karena model bisnis yang tidak berkelanjutan. Selain itu, ia juga menyinggung "digital startup bubble" yang lebih baru, di mana gelombang startup teknologi mengalami masa kejayaan investasi besar-besaran sebelum akhirnya menghadapi "musim dingin pendanaan" yang memaksa mereka untuk lebih realistis dalam mengejar profitabilitas. Bahkan, Nugroho juga menyebutkan "3G bubble" yang meskipun tidak terlalu digembar-gemborkan secara luas, namun memiliki dampak signifikan pada industri telekomunikasi.

Ia mengingatkan, pada era 3G, banyak operator telekomunikasi yang pada masa itu "jor-joran" berinvestasi besar-besaran, terutama dalam membangun infrastruktur jaringan dan akuisisi spektrum frekuensi, namun sayangnya tidak diimbangi dengan model bisnis yang matang untuk monetisasi. Adopsi layanan data yang belum secepat yang diantisipasi, persaingan harga yang ketat, dan biaya operasional yang tinggi membuat banyak dari mereka mengalami kesulitan finansial, bahkan ada yang terpaksa gulung tikar atau diakuisisi. Pelajaran krusial dari era ini, menurut Nugroho, sangat relevan dengan tren AI saat ini. Risiko investasi berlebihan tanpa perhitungan yang matang tetap menjadi ancaman nyata yang harus diwaspadai oleh para pelaku industri.

Strategi utama untuk menghindari jebakan gelembung ini, menurut Nugroho, terletak pada "keseimbangan antara investasi dan monetisasi." Ia menjelaskan, "Kalau tidak seimbang, dia bisa jadi korban bubble. Early investment yang terlalu besar juga berisiko." Pendekatan ini menekankan pentingnya tidak hanya fokus pada seberapa besar atau seberapa cepat investasi dilakukan, tetapi juga pada bagaimana investasi tersebut dapat menghasilkan nilai ekonomi yang konkret dan berkelanjutan. Investasi harus dibarengi dengan rencana monetisasi yang jelas, baik melalui peningkatan efisiensi operasional, penciptaan produk atau layanan baru, maupun peningkatan pengalaman pelanggan yang pada akhirnya berkontribusi pada pendapatan perusahaan. Berinvestasi secara emosional atau hanya mengikuti tren tanpa analisis fundamental yang kuat adalah resep menuju kegagalan.

Meskipun demikian, Nugroho menegaskan bahwa potensi "AI bubble" sama sekali tidak mengurangi nilai fundamental atau kebutuhan akan teknologi kecerdasan buatan itu sendiri. AI, dengan segala potensinya, tetap merupakan teknologi yang sangat dibutuhkan dan akan sukses dalam mentransformasi berbagai sektor kehidupan. Mulai dari kesehatan, keuangan, manufaktur, hingga telekomunikasi, AI menawarkan peluang besar untuk otomatisasi, personalisasi, analisis data yang mendalam, dan inovasi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Yang perlu dihindari, menurutnya, adalah pendekatan emosional yang hanya didorong oleh tren semata, tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan nilai riil yang dapat diciptakan.

"Bukan berarti karena ada potensi AI bubble, lalu AI jadi tidak dibutuhkan. Tidak begitu," tegasnya, menyoroti perbedaan antara spekulasi pasar dan nilai intrinsik teknologi. "Yang penting bagaimana kita menjaga keseimbangannya," tambahnya, merujuk pada pentingnya strategi yang hati-hati dan terukur dalam mengadopsi dan mengembangkan AI. Telkomsel, sebagai pemimpin di industri telekomunikasi Indonesia, menyadari betul bahwa AI adalah pilar masa depan, namun implementasinya harus dilakukan dengan penuh perhitungan dan fokus pada solusi yang relevan dengan kebutuhan pasar dan pelanggan.

Terkait kondisi di Indonesia, Nugroho menilai perkembangan AI masih relatif terkendali dan lebih "proper" atau proporsional dibandingkan dengan dinamika di beberapa negara lain yang mungkin lebih agresif dalam investasi AI. Hal ini, menurutnya, tidak lepas dari pengalaman pahit yang dialami oleh industri digital Indonesia beberapa tahun terakhir, terutama saat "startup bubble" mencapai puncaknya. "Orang-orang masih trauma dengan startup bubble," ujarnya, menjelaskan bahwa pengalaman tersebut telah membentuk mentalitas yang lebih hati-hati dan pragmatis di kalangan pelaku industri dan investor di Tanah Air.

"Trauma" ini telah menjadi pembelajaran berharga, membuat para pelaku industri lebih cermat dalam menilai investasi dan lebih fokus pada fundamental bisnis, profitabilitas, serta keberlanjutan daripada sekadar pertumbuhan pengguna atau valuasi yang fantastis. Hal ini membuat pelaku industri lebih hati-hati untuk berinvestasi besar-besaran di teknologi yang sedang booming, termasuk AI, tanpa landasan bisnis yang kuat. Mereka kini cenderung mencari kasus penggunaan yang jelas, potensi monetisasi yang terukur, dan dampak nyata terhadap operasional atau pengalaman pelanggan.

Nugroho pun optimistis bahwa tren AI di Tanah Air masih berada di jalur aman. "Aman, alhamdulillah aman. Cara-cara untuk menghindari risiko bubble juga sudah kami pelajari," kata dia, menunjukkan kepercayaan diri Telkomsel dalam menghadapi potensi risiko. Strategi yang matang, analisis risiko yang komprehensif, dan fokus pada nilai jangka panjang telah menjadi panduan bagi Telkomsel dalam merangkul AI. Mereka tidak sekadar mengikuti arus, melainkan memimpin dengan pendekatan yang terukur dan bertanggung jawab.

Sebagai bagian dari strategi jangka panjang Telkomsel untuk secara proaktif berkontribusi pada ekosistem AI nasional dan mengimplementasikan visi strategis mereka, perusahaan telekomunikasi digital terkemuka ini baru-baru ini menggandeng Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk menghadirkan AI Innovation Hub. Fasilitas yang berlokasi di pusat inovasi ITB ini menjadi pusat pengembangan AI pertama di Indonesia yang berfokus pada kolaborasi antara akademisi dan industri. Inisiatif ini difokuskan pada tiga pilar utama: pengembangan talenta AI nasional yang berkualitas tinggi, riset dan pengembangan solusi AI yang inovatif, serta penciptaan solusi AI yang berkelanjutan dan relevan dengan kebutuhan pasar Indonesia.

AI Innovation Hub ini diharapkan menjadi katalisator bagi ekosistem AI di Indonesia, melahirkan generasi ahli AI, mendorong penelitian terapan yang memecahkan masalah nyata, dan menciptakan produk atau layanan AI yang dapat diimplementasikan secara luas. Melalui kerja sama dengan ITB, Telkomsel tidak hanya berinvestasi pada teknologi, tetapi juga pada sumber daya manusia dan kapasitas inovasi bangsa. Ini adalah langkah konkret Telkomsel untuk memastikan bahwa adopsi AI di Indonesia dilakukan secara terencana, terarah, dan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat dan perekonomian, jauh dari jebakan spekulasi dan gelembung yang tidak sehat. Dengan demikian, Telkomsel berupaya membangun masa depan AI yang kuat dan berkelanjutan, memastikan bahwa Indonesia dapat memanfaatkan potensi penuh dari kecerdasan buatan tanpa harus menjadi korban dari tren sesaat.