0

Elon Musk Ejek Matahari Buatan: Yang di Langit Gratis!

Share

Jakarta — Dalam sebuah pernyataan yang mengguncang komunitas ilmiah dan teknologi global, CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk, melontarkan ejekan pedas terhadap upaya berbagai negara dan perusahaan yang berlomba menciptakan reaktor fusi nuklir, yang sering dijuluki "matahari buatan." Musk, yang dikenal dengan pandangannya yang provokatif dan seringkali kontroversial, menegaskan dukungannya yang tak tergoyahkan terhadap energi surya—energi yang berasal dari Matahari yang asli, yang sudah ada di langit. Pernyataannya ini memicu perdebatan sengit tentang arah inovasi energi bersih di masa depan.

Musk tidak segan-segan menyebut pembangunan reaktor fusi nuklir di Bumi sebagai "ide yang super bodoh." Menurutnya, energi matahari, yang disalurkan secara alami dari bintang pusat tata surya kita, jauh lebih superior dan efisien. "Matahari yang ada di langit itu reaktor fusi gratis dan raksasa," ujarnya, sebagaimana dikutip dari Times of India pada Sabtu, 27 Desember 2025. Pernyataan ini secara lugas menyoroti perspektif Musk bahwa manusia tengah membuang-buang waktu dan sumber daya untuk mencoba mereplikasi sesuatu yang sudah tersedia secara cuma-cuma dan dalam skala yang tak tertandingi.

Melalui platform X (sebelumnya Twitter), Musk memperkuat argumennya dengan perbandingan yang mencolok. Ia menjelaskan bahwa bahkan jika empat planet seukuran Jupiter dibakar habis, Matahari yang asli masih akan memiliki kekuatan 100% lebih besar dari semua kekuatan yang dihasilkan di seluruh tata surya. Perbandingan ini dimaksudkan untuk menggambarkan skala energi yang luar biasa besar yang dihasilkan oleh Matahari kita, sekaligus menekankan betapa sia-sianya upaya manusia untuk menciptakan "matahari buatan" dalam skala mikro di Bumi. "Berhenti memboroskan uang untuk reaktor-reaktor mungil. Kecuali itu memang cuma proyek sains," sindir Elon, menyiratkan bahwa proyek fusi terestrial saat ini tidak lebih dari sekadar eksperimen ilmiah yang mahal dan tidak praktis untuk solusi energi global.

Musk juga menyindir para perusahaan dan lembaga yang menginvestasikan sumber daya besar untuk mengembangkan energi bersih melalui reaktor fusi kecil. Menurutnya, inisiatif semacam itu tidak ada ubahnya seperti proyek fisika remeh-temeh yang menghabiskan banyak uang tanpa memberikan solusi energi yang signifikan atau berkelanjutan. Fusi berbasis Bumi, dalam pandangan Musk, adalah proyek sampingan yang tidak penting dan sangat mahal. Ia berpendapat bahwa akan lebih bijaksana jika umat manusia mengalihkan fokus dan investasinya untuk memanen energi dari Matahari, reaktor alami yang sudah beroperasi di tata surya ini.

Namun, pandangan Musk ini kontras tajam dengan ambisi dan investasi besar yang telah digelontorkan oleh berbagai negara dan perusahaan di seluruh dunia. Reaktor fusi nuklir, yang meniru proses penghasil energi di Matahari, dianggap sebagai "cawan suci" energi bersih karena potensinya untuk menghasilkan listrik dalam jumlah masif tanpa emisi karbon, limbah radioaktif jangka panjang yang signifikan, atau risiko kecelakaan nuklir seperti pada fisi.

Beberapa pemain utama dalam perlombaan fusi ini termasuk Tiongkok, yang reaktor fusi eksperimentalnya, Tokamak Superkonduktor Eksperimental Lanjutan (EAST) atau "Matahari Buatan," telah beberapa kali memecahkan rekor dunia dalam hal suhu dan durasi operasi plasma. Prestasi ini menunjukkan kemajuan signifikan dalam mengendalikan plasma super panas yang diperlukan untuk reaksi fusi. Selain Tiongkok, perusahaan-perusahaan swasta seperti Commonwealth Fusion Systems (CFS) yang didukung oleh MIT, dan bahkan raksasa teknologi seperti Nvidia, telah berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan teknologi fusi. Nvidia, misalnya, menyediakan kekuatan komputasi dan keahlian AI yang krusial untuk simulasi dan optimasi desain reaktor.

Bahkan, kecerdasan buatan (AI) turut memainkan peran penting dalam mempercepat pengembangan energi fusi. Google DeepMind, unit AI dari Alphabet, telah secara aktif membantu CFS dalam menggunakan algoritma AI untuk mengoptimalkan kontrol plasma dalam reaktor tokamak. Kontrol plasma adalah salah satu tantangan terbesar dalam fusi, karena plasma harus dipertahankan pada suhu jutaan derajat Celsius dan dikurung dalam medan magnet yang stabil untuk memungkinkan reaksi fusi berkelanjutan. Bantuan AI diharapkan dapat mempercepat kemajuan dalam memecahkan masalah kompleks ini, yang secara tradisional membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dipecahkan melalui metode eksperimental konvensional.

Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) sendiri telah secara konsisten menyatakan bahwa proyek fusi adalah cara yang menjanjikan untuk membuka jalan menuju sumber energi bebas karbon, melimpah, dan aman. IAEA memandang fusi sebagai komponen krusial dalam portofolio energi masa depan untuk mengatasi krisis iklim dan memenuhi kebutuhan energi global yang terus meningkat. Investasi internasional besar-besaran juga terlihat pada proyek ITER (International Thermonuclear Experimental Reactor) di Prancis, sebuah kolaborasi multinasional yang bertujuan untuk membangun reaktor fusi skala industri pertama yang dapat menghasilkan energi bersih secara berkelanjutan.

Namun, kritik Musk juga menyentuh inti permasalahan yang kerap diabaikan oleh para pendukung fusi: biaya dan kompleksitas yang luar biasa. Pembangunan dan pengoperasian reaktor fusi membutuhkan investasi triliunan dolar dan menghadapi tantangan teknis yang belum sepenuhnya terpecahkan. Mencapai "gain" energi bersih (Q>1), di mana reaktor menghasilkan lebih banyak energi daripada yang digunakan untuk memanaskan dan mengurung plasma, masih menjadi batu sandungan utama. Selain itu, masalah material yang tahan terhadap fluks neutron tinggi, penanganan tritium (isotop hidrogen yang digunakan sebagai bahan bakar), dan stabilitas plasma jangka panjang masih memerlukan penelitian dan pengembangan intensif.

Musk, dengan visinya yang selalu berorientasi pada solusi praktis dan skalabel, mungkin melihat energi surya sebagai jalan pintas yang lebih realistis dan segera tersedia. Teknologi panel surya telah berkembang pesat dalam efisiensi dan biaya, menjadikannya salah satu sumber energi termurah di banyak wilayah. Ditambah dengan kemajuan dalam teknologi penyimpanan energi baterai, sistem surya dapat menawarkan solusi desentralisasi dan tangguh yang tidak memerlukan infrastruktur raksasa dan kompleks seperti reaktor fusi. Ia percaya bahwa daripada menghabiskan sumber daya untuk sesuatu yang belum terbukti secara komersial dan sangat mahal, lebih baik mengoptimalkan dan memperluas pemanfaatan energi yang sudah melimpah ruah dan terbukti efektif.

Perdebatan antara "matahari buatan" dan "matahari asli" mencerminkan dua filosofi berbeda dalam mencari solusi energi masa depan. Satu sisi berargumen bahwa manusia harus berani menaklukkan tantangan ilmiah terbesar untuk mereplikasi proses alamiah dan menciptakan sumber energi yang hampir tak terbatas di Bumi. Sisi lain, yang diwakili oleh Musk, berpendapat bahwa kebijaksanaan terletak pada pemanfaatan cerdas atas apa yang sudah diberikan alam, dengan fokus pada efisiensi, skalabilitas, dan biaya yang masuk akal.

Pada akhirnya, apakah dunia akan mengadopsi pendekatan Elon Musk untuk sepenuhnya merangkul Matahari di langit, atau akan terus berinvestasi dalam impian menciptakan Matahari di Bumi, masih akan menjadi pertanyaan besar. Namun, provokasi Musk tak diragukan lagi telah memaksa dunia untuk merefleksikan kembali prioritas dan strategi dalam pencarian energi bersih yang akan membentuk masa depan peradaban manusia. Dalam lanskap energi yang terus berkembang, mungkin ada ruang untuk kedua pendekatan, di mana energi surya menyediakan solusi jangka pendek dan menengah yang vital, sementara fusi terus dikejar sebagai potensi terobosan jangka panjang yang mengubah permainan. Namun, bagi Elon Musk, jawabannya sudah jelas dan ada di atas sana—gratis dan raksasa.