Banyak orang tua di seluruh dunia menghadapi dilema klasik namun semakin mendesak: haruskah memberikan perangkat teknologi seperti tablet kepada anak-anak mereka? Kekhawatiran akan paparan konten negatif, potensi kecanduan, hingga dampak buruk pada perkembangan sosial dan fisik anak menjadi bayang-bayang yang kerap menghantui. Namun, di sisi lain, menunda pengenalan teknologi terlalu lama juga memicu kekhawatiran anak akan tertinggal dalam menguasai keterampilan digital yang kini menjadi keniscayaan di era modern. Keseimbangan antara proteksi dan persiapan masa depan inilah yang seringkali membuat orang tua kebingungan.
Menjawab kegelisahan tersebut, konten kreator dan mom influencer Dhatu Rembulan, yang dikenal luas sebagai istri musisi Tria Changcuters, berbagi perspektif dan pengalamannya yang berharga. Ditemui di sebuah workshop iPad di Jakarta, Dhatu menekankan bahwa keputusan untuk memberikan gadget kepada anak adalah pilihan yang sangat personal dan bergantung pada kondisi unik setiap keluarga. Tidak ada jawaban tunggal yang cocok untuk semua, melainkan sebuah pendekatan yang disesuaikan.
Dhatu sendiri telah memilih untuk memberikan tablet kepada anak sulungnya. Namun, ia dengan tegas menggarisbawahi filosofi di balik keputusannya: "Aku memberikan gadget untuk anak-anakku asal gadget tersebut jadi sarana penunjang bukan sebagai pengganti kita sebagai orang tua. Jadi nggak menggantikan perannya sebagai orang tua." Pernyataan ini menjadi fondasi penting dalam setiap diskusi mengenai anak dan teknologi. Gadget harus berfungsi sebagai alat pendukung aktivitas, pembelajaran, atau kreativitas anak, bukan sebagai ‘babysitter’ digital yang mengambil alih peran esensial orang tua dalam mendidik, berinteraksi, dan membimbing.
Lebih lanjut, Dhatu menekankan pentingnya tiga pilar utama yang harus diselaraskan sebelum perangkat teknologi diserahkan ke tangan anak: niat, tujuan, dan komitmen. Pertama, niat haruslah jelas dan positif. Apakah niatnya untuk mendukung pembelajaran, mengembangkan kreativitas, memfasilitasi komunikasi dengan keluarga jauh, atau sekadar hiburan yang terarah? Niat yang baik akan memandu keputusan selanjutnya. Kedua, tujuan yang spesifik. Misalnya, tujuan penggunaan tablet adalah untuk mengerjakan tugas sekolah, belajar bahasa asing melalui aplikasi interaktif, atau membuat karya seni digital. Tujuan yang terdefinisi akan membantu orang tua memantau dan mengevaluasi penggunaan gadget.
Terakhir, dan yang paling krusial, adalah komitmen. Komitmen ini bukan hanya untuk anak sebagai pengguna gadget, tetapi juga untuk orang tua sebagai pengawas dan teladan. "Kita harus menyelaraskan dulu niatnya apa, tujuannya apa, dan komitmen terhadap gadget itu sendiri bagaimana karena tentu saja harus punya aturan, harus punya batasan yang jelas," kata Dhatu. Ia merangkum prinsip ini dengan frasa yang mudah diingat: "Jadi intinya bebas tapi dengan batasan." Kebebasan yang diberikan kepada anak dalam menggunakan teknologi harus selalu diimbangi dengan batasan yang tegas dan konsisten.
Menariknya, Dhatu juga menyarankan agar proses pembuatan aturan ini tidak dilakukan secara sepihak oleh orang tua, melainkan melalui diskusi dan kesepakatan bersama anak, terutama untuk anak usia sekitar 7 tahun ke atas. Pada usia ini, anak umumnya sudah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang lebih baik, serta memahami konsekuensi dari pilihan mereka. "Orang tua punya poin-poin batasan, misalnya waktu, apa saja aplikasi yang boleh dan yang tidak boleh. Jadi kita diskusi. Tadinya awalnya contohnya kayak ibu sih pengennya 1 jam aja pakai iPadnya, tapi anakku nawar 2 jam dong, jadi kita pilih yang terbaik lah keputusannya biar sama-sama enak jalanin," papar Dhatu, memberikan contoh nyata proses negosiasi yang sehat. Pendekatan kolaboratif semacam ini tidak hanya membuat anak merasa didengarkan dan dihargai, tetapi juga meningkatkan kemungkinan mereka untuk mematuhi aturan yang telah disepakati bersama. Ini membangun rasa tanggung jawab dan kemandirian digital sejak dini.

Selain penetapan aturan, orang tua juga wajib memahami dan memanfaatkan fitur-fitur pengawasan yang tersedia pada perangkat. Dhatu secara khusus menyoroti keunggulan perangkat Apple seperti iPad yang dilengkapi dengan berbagai fitur proteksi yang mumpuni. "Fitur di Apple khususnya iPad yang penting untuk orang tua pakai, Screen Time, Downtime, App Limits, terus Family Sharing, Communication Limits, dan banyak banget. Jadi sebenarnya sebelum kita kasih ke anak, kita harus paham dulu fitur-fitur tersebut karena manfaatnya banyak banget," jelasnya.
Mari kita bedah beberapa fitur penting ini:
- Screen Time: Fitur ini memungkinkan orang tua untuk memantau dan mengelola waktu penggunaan gadget anak secara keseluruhan. Orang tua bisa melihat berapa lama anak menghabiskan waktu di aplikasi tertentu, kategori aplikasi, atau bahkan di website. Ini memberikan gambaran yang jelas tentang pola penggunaan anak.
- Downtime: Fitur ini memungkinkan orang tua menjadwalkan waktu istirahat dari gadget. Selama "downtime," hanya aplikasi yang dipilih saja (misalnya, aplikasi telepon atau aplikasi pendidikan tertentu) yang bisa diakses, sementara aplikasi lain akan terkunci. Ini sangat efektif untuk memastikan anak memiliki waktu tanpa layar, misalnya saat makan, belajar, atau sebelum tidur.
- App Limits: Dengan fitur ini, orang tua dapat menetapkan batas waktu harian untuk aplikasi atau kategori aplikasi tertentu. Misalnya, membatasi waktu bermain game selama 30 menit sehari atau waktu penggunaan media sosial selama 1 jam.
- Family Sharing: Fitur ini memungkinkan anggota keluarga berbagi pembelian aplikasi, musik, film, dan bahkan langganan Apple Music atau iCloud storage. Yang terpenting, dengan Family Sharing, orang tua dapat menyetujui atau menolak permintaan pembelian aplikasi atau konten dari anak (Ask to Buy).
- Communication Limits: Ini adalah fitur yang memungkinkan orang tua mengontrol siapa saja yang bisa berkomunikasi dengan anak, baik melalui telepon, FaceTime, maupun Pesan. Batasan ini bisa diatur secara berbeda selama waktu layar aktif dan selama downtime.
Dengan memahami dan mengimplementasikan fitur-fitur ini, orang tua dapat merasa lebih tenang dan terkontrol. Gadget pada akhirnya bukan lagi alat yang dikhawatirkan mengontrol anak, melainkan tools yang dapat diatur untuk mendukung kreativitas, pembelajaran, dan pembentukan kebiasaan positif anak secara terarah.
Mengenai sistem penghargaan atau rewarding, seperti memberikan akses gadget setelah anak menyelesaikan pekerjaan rumah, Dhatu menyatakan bahwa hal ini masih relevan untuk anak-anak yang lebih kecil. "Untuk yang kecil, sebenarnya rewarding itu masih aku berlakukan, karena kan yang penting seru dulu, yang penting dapat motivasinya dulu dalam melakukan sesuatu." Pemberian reward bisa menjadi pemicu motivasi awal bagi anak-anak prasekolah atau usia sekolah dasar untuk menyelesaikan tugas atau berperilaku baik. Namun, ia menambahkan, untuk anak yang lebih besar, seperti kelas 6 SD ke atas, sistem ini perlu disesuaikan. "Tapi untuk yang besar, sepertinya dia sudah harus tahu mana yang memang kewajiban mana yang memang harus dia lakukan." Pada usia ini, fokus harus beralih dari motivasi eksternal (reward) ke motivasi intrinsik dan pemahaman akan tanggung jawab.
Pertimbangan penting lainnya adalah jenis perangkat yang diberikan. Saat ditanya apakah smartphone atau tablet yang sebaiknya diberikan lebih dulu, Dhatu merekomendasikan iPad daripada iPhone untuk anak usia 10 tahun ke bawah. "Sebenarnya aku prefer anak belum dikasih iPhone karena iPhone tuh kayak lebih mobile, ukurannya kecil, gampang dibawa kemana-mana, takutnya itu jadi efek ketergantungan. Sedangkan kalau iPad itu kan ukurannya lebih besar, otomatis dia agak berat kalau harus dibawa-bawa kemana-mana." Logika di balik ini cukup kuat. Ukuran iPad yang lebih besar membuatnya tidak praktis untuk dibawa-bawa terus-menerus, sehingga meminimalkan godaan untuk selalu terhubung. Penggunaan iPad cenderung lebih terfokus pada aktivitas tertentu di tempat yang telah ditentukan, seperti di meja belajar atau ruang keluarga, menciptakan momen khusus untuk berinteraksi dengan perangkat tersebut, bukan sebagai teman setia yang selalu ada di saku. Selain itu, layar yang lebih besar pada tablet juga lebih cocok untuk aktivitas kreatif dan edukatif, seperti menggambar, membaca e-book, atau mengerjakan proyek.
Pada akhirnya, dilema memberikan tablet ke anak bukanlah tentang larangan total atau kebebasan mutlak. Ini adalah tentang menemukan titik tengah yang bijak, di mana teknologi dapat menjadi sarana positif bagi perkembangan anak, asalkan didampingi dengan aturan yang jelas, komitmen yang kuat dari orang tua, dan pemahaman yang mendalam tentang fitur-fitur yang mendukung pengawasan. Dengan pendekatan yang terencana dan partisipatif, orang tua tidak hanya melindungi anak dari risiko digital, tetapi juga mempersiapkan mereka menjadi individu yang cakap secara teknologi dan bertanggung jawab di masa depan.
