BOSSPULSA.COM, Yogyakarta – Fenomena harga mobil yang terasa mencekik di Indonesia, di tengah target penjualan yang meleset jauh dari prediksi, kembali menjadi sorotan. Angka penjualan mobil di penghujung tahun 2025 baru menyentuh angka 710 ribu unit, jauh dari target awal 900 ribuan unit, yang bahkan telah direvisi menjadi 780 ribu unit. Ironisnya, prediksi awal sempat menyebutkan potensi pasar mobil Indonesia bisa mencapai 2 juta unit. Perbandingan dengan negara tetangga seperti Malaysia, yang memiliki populasi jauh lebih kecil namun pendapatan perkapita tiga kali lipat, semakin memperjelas adanya distorsi pasar. Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam, mengungkapkan bahwa seharusnya pasar Indonesia bisa mencapai dua kali lipat pasar Malaysia, yang saat ini berkisar antara 750 hingga 780 ribu unit. "Jadi ada distorsi nih, ya 50 persen," ujarnya, menyoroti kesenjangan yang signifikan.
Penyebab utama dari merosotnya penjualan mobil ini, menurut Bob Azam, adalah melemahnya daya beli masyarakat yang diperparah oleh tingginya beban pajak yang dibebankan pada pembelian mobil baru. Beban pajak yang mencapai angka fantastis, bahkan hingga 40% dari harga jual, menjadikan mobil baru semakin sulit dijangkau oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Bob membandingkan kondisi ini dengan negara lain seperti Thailand dan Malaysia, di mana persentase pajaknya berada di bawah 30%. "Jadi di industri otomotif Indonesia nih kesannya kan harga kendaraan mahal banget gitu lho, padahal di dalamnya, pajaknya tuh 40 persen. Nah bandingkan dengan negara lain yang pajaknya tidak setinggi kita ya. Kalau di Thailand itu di bawah 30 persen, begitu juga di Malaysia," tegasnya.
Struktur perpajakan di Indonesia memang kompleks dan berlapis. Setiap unit mobil yang keluar dari lini produksi pabrik akan dikenakan berbagai jenis pajak. Mulai dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hingga pajak daerah seperti Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Rangkaian pajak ini secara kumulatif dapat menaikkan harga jual mobil secara signifikan, bahkan bisa mencapai hampir separuh dari harga dasar. Kondisi inilah yang menjadi salah satu faktor utama mengapa masyarakat Indonesia cenderung enggan untuk membeli mobil baru, memilih untuk menunda atau bahkan tidak membeli sama sekali.
Lebih lanjut, Bob Azam juga menyoroti perbedaan kebijakan stimulus yang diberikan oleh pemerintah. Negara-negara tetangga, seperti yang disebutkan, secara konsisten memberikan stimulus dan insentif yang meringankan pembelian mobil baru bagi warganya. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang dirasa kurang aktif dalam memberikan dorongan serupa. "Jadi even pajaknya ada, tapi stimulusnya rajin, kalau di kita nih ya kurang sering. Ini kita harapkan ke depan jadi pertimbangan pemerintah," pungkasnya. Harapan ini mengarah pada pemerintah Indonesia untuk dapat mempertimbangkan kembali kebijakan perpajakan dan memberikan insentif yang lebih memadai guna menggairahkan kembali industri otomotif nasional dan meningkatkan daya beli masyarakat terhadap kendaraan baru.
Dampak dari tingginya pajak ini tidak hanya dirasakan oleh konsumen, tetapi juga oleh industri otomotif secara keseluruhan. Produsen dan agen pemegang merek menghadapi tantangan besar dalam menjaga volume penjualan mereka. Tingginya harga jual membuat penetrasi pasar menjadi lebih sulit, terutama di segmen menengah ke bawah. Hal ini juga berpotensi menghambat pertumbuhan sektor industri pendukung otomotif, seperti industri komponen, bengkel, dan jasa terkait lainnya. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia akan semakin tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga dalam hal perkembangan industri otomotif dan kepemilikan kendaraan pribadi.
Perlu dipahami bahwa penetapan pajak dalam industri otomotif memiliki tujuan yang beragam, mulai dari penerimaan negara, pengendalian emisi, hingga penataan ruang. Namun, ketika beban pajak menjadi begitu berat hingga menghambat pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat, maka diperlukan evaluasi yang mendalam. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah tingginya pajak ini sebanding dengan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan?
Analisis lebih lanjut mengenai struktur pajak kendaraan di Indonesia menunjukkan bahwa PPnBM, sebagai salah satu pajak yang paling signifikan, memiliki tarif yang bervariasi tergantung pada jenis dan kapasitas mesin kendaraan. Kendaraan dengan mesin besar dan harga lebih mahal biasanya dikenakan tarif PPnBM yang lebih tinggi. Sementara itu, PPN dikenakan pada setiap transaksi barang dan jasa, termasuk kendaraan bermotor, dengan tarif standar. Pajak daerah seperti BBNKB dan PKB, meskipun bersifat lokal, juga menambah beban biaya kepemilikan kendaraan secara akumulatif. Bea balik nama, misalnya, dikenakan setiap kali kendaraan berpindah tangan, yang tentunya memberatkan bagi pembeli mobil bekas sekalipun.
Perbandingan dengan negara-negara lain, seperti yang disinggung oleh Bob Azam, bukan sekadar retorika. Di Malaysia, misalnya, insentif pajak seperti Sales Tax exemption atau Road Tax discount pernah diterapkan untuk mendorong penjualan mobil baru, terutama pada segmen tertentu. Di Thailand, pemerintah juga kerap memberikan insentif fiskal untuk industri otomotif, termasuk keringanan pajak bagi produsen yang berinvestasi dan memproduksi kendaraan ramah lingkungan. Kebijakan stimulus ini terbukti efektif dalam menjaga stabilitas pasar otomotif dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Salah satu potensi solusi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia adalah melakukan kajian ulang terhadap struktur tarif pajak yang ada. Apakah ada ruang untuk penyesuaian tarif PPnBM tanpa mengurangi potensi penerimaan negara secara drastis? Atau, apakah ada jenis pajak lain yang dapat digeser atau dikurangi bebannya untuk meringankan konsumen? Selain itu, model stimulus yang diterapkan di negara lain dapat menjadi referensi. Misalnya, pemberian insentif pajak bagi pembelian mobil produksi dalam negeri yang memenuhi standar emisi tertentu, atau insentif bagi pembeli mobil pertama.
Penting juga untuk melihat dampak jangka panjang dari kebijakan pajak ini. Jika harga mobil terus menerus dianggap mahal, maka tingkat kepemilikan mobil di Indonesia akan terus stagnan atau bahkan menurun. Ini akan berdampak pada berbagai sektor ekonomi lainnya. Misalnya, industri perbankan yang menyalurkan kredit kendaraan bermotor, industri asuransi, industri suku cadang, hingga sektor pariwisata yang sangat bergantung pada mobilitas.
Selain aspek pajak, faktor lain yang turut memengaruhi harga mobil di Indonesia adalah biaya logistik dan rantai pasok yang terkadang masih belum efisien. Ketergantungan pada impor komponen, fluktuasi nilai tukar mata uang, dan biaya transportasi antar pulau juga turut berkontribusi pada tingginya harga jual akhir. Namun, bobot terbesar, menurut para pelaku industri, tetaplah pada komponen pajak yang sangat besar.
Upaya untuk mendorong penjualan mobil baru bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga perlu didukung oleh inovasi dari para produsen otomotif. Pengembangan model kendaraan yang lebih efisien dan terjangkau, serta strategi pemasaran yang lebih agresif, dapat menjadi pelengkap kebijakan pemerintah. Namun, tanpa adanya keringanan beban pajak, upaya-upaya tersebut mungkin akan menghadapi tembok tebal.
Masyarakat Indonesia, yang memiliki potensi pasar yang besar, berhak mendapatkan akses yang lebih baik terhadap kendaraan bermotor yang dapat menunjang aktivitas sehari-hari, mobilitas, dan bahkan produktivitas. Harapan agar pemerintah Indonesia dapat lebih proaktif dalam memberikan stimulus dan meninjau kembali kebijakan perpajakan yang membebani menjadi semakin mendesak. Dengan demikian, harga mobil di Indonesia tidak lagi terkesan mahal semata-mata karena beban pajak yang berlebihan, melainkan mencerminkan nilai sebenarnya dari sebuah kendaraan. Perubahan kebijakan yang tepat dapat membuka kembali keran pertumbuhan pasar otomotif Indonesia dan memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional.
Penting untuk dicatat bahwa diskusi mengenai harga mobil dan pajak ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan untuk menciptakan iklim industri otomotif yang sehat dan berdaya saing. Dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai berbagai faktor yang memengaruhinya, diharapkan tercipta solusi yang komprehensif dan berpihak pada semua pemangku kepentingan, mulai dari konsumen, produsen, hingga negara. Keseimbangan antara penerimaan negara dan kemudahan akses bagi masyarakat adalah kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di sektor otomotif.
