Jakarta –
TikTok boleh lanjut beroperasi di Amerika Serikat, tapi serahkan dulu kuasa algoritmanya. Itulah inti dari kesepakatan krusial yang dicapai antara Gedung Putih dan ByteDance, perusahaan induk TikTok asal Tiongkok, menandai babak baru dalam pertarungan geopolitik dan teknologi yang telah berlangsung sengit selama bertahun-tahun. Persetujuan ini bukan sekadar penjualan saham biasa; ia adalah pengakuan atas nilai strategis yang tak ternilai dari inti teknologi yang menggerakkan platform media sosial paling berpengaruh di dunia: algoritmanya.
Setelah negosiasi yang panjang dan penuh gejolak, ByteDance akhirnya setuju untuk menjual separuh kepemilikan TikTok untuk operasionalnya di Amerika Serikat dalam bentuk sebuah joint venture yang kompleks. Struktur kepemilikan di AS kini akan menjadi seperti ini: ByteDance, sebagai entitas asal, akan mempertahankan 19,9% saham. Sementara itu, pemain-pemain besar dari dunia teknologi dan investasi turut ambil bagian, dengan Oracle, Silver Lake, dan perusahaan investasi asal Abu Dhabi, MGX, masing-masing memiliki 15% saham. Sisa 30,1% kepemilikan akan dipegang oleh afiliasi dari investor ByteDance yang telah ada selama ini, menciptakan mosaik kepemilikan yang beragam dan tersebar.
Melalui kuasa baru ini, Gedung Putih secara eksplisit menyatakan bahwa TikTok akan melisensikan rekomendasi algoritmanya sebagai bagian dari kesepakatan. Ini bukan detail kecil, melainkan inti dari seluruh drama. Algoritma, sebuah perangkat lunak canggih yang mempersonalisasi feed pengguna dengan konten yang paling mungkin menarik perhatian mereka, rupanya menjadi biang perebutan kuasa di balik perkara TikTok ini. Ini adalah "otak" di balik kesuksesan TikTok, yang mampu membuat sebuah video menjadi viral dalam semalam dan menciptakan tren global. Kontrol atas algoritma ini berarti kontrol atas informasi, hiburan, dan bahkan narasi yang sampai ke jutaan pengguna.
Dilansir dari BBC pada Sabtu (20/12/2025), Pemerintah AS sudah sejak lama menuduh TikTok sebagai ancaman keamanan dan kedaulatan di ruang digital. Tuduhan utama berpusat pada kekhawatiran bahwa algoritma TikTok dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Tiongkok untuk tujuan spionase, propaganda, atau sensor. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Undang-undang keamanan siber Tiongkok mengharuskan perusahaan-perusahaan domestik untuk bekerja sama dengan intelijen negara jika diminta, memicu ketakutan bahwa data pengguna AS dapat diakses oleh Beijing, atau yang lebih buruk, feed berita dan hiburan pengguna dapat dimanipulasi untuk memengaruhi opini publik atau menyebarkan disinformasi. Algoritma TikTok, dengan kemampuannya yang luar biasa untuk menyaring dan menyajikan konten, dianggap sebagai bentuk intervensi China terhadap informasi yang beredar di platform tersebut, berpotensi mengancam integritas demokrasi dan keamanan nasional AS.
Dengan kesepakatan ini, rekomendasi algoritma TikTok diatur untuk hanya sesuai dengan pengguna Amerika saja. Ini berarti bahwa feed TikTok di AS tidak bisa dimanipulasi secara eksternal oleh entitas asing, khususnya Tiongkok. Harapannya, dengan memisahkan dan mengisolasi algoritma untuk operasional AS, risiko intervensi asing dapat diminimalisir. Konsepnya adalah menciptakan "tembok api" digital, di mana data pengguna AS diproses dan disimpan di AS, dan algoritma yang melayani mereka diawasi secara ketat oleh pihak AS. Oracle, sebagai salah satu investor utama, diharapkan memainkan peran kunci dalam aspek keamanan data dan infrastruktur ini, memberikan layanan cloud hosting dan memastikan integritas data.
Namun, seperti halnya setiap kesepakatan besar yang melibatkan geopolitik dan teknologi canggih, sejumlah pihak masih meragukan efektivitas solusi ini. Kritik pedas datang dari Senator Partai Demokrat, Ron Wyden, yang secara blak-blakan menyatakan, "Hal itu tidak melakukan apa-apa untuk melindungi pengguna Amerika." Pernyataan Wyden mencerminkan skeptisisme yang mendalam di kalangan beberapa anggota parlemen dan pakar keamanan siber. Mereka berpendapat bahwa algoritma adalah sistem yang sangat dinamis dan kompleks, terus belajar dan berevolusi. Memastikan bahwa tidak ada "pintu belakang" atau cara halus untuk memengaruhi algoritma dari luar adalah tantangan teknis yang monumental. Bagaimana jika ada pembaruan kode yang berasal dari ByteDance di Tiongkok yang secara tidak sengaja atau sengaja memperkenalkan kerentanan? Atau bagaimana jika data pelatihan algoritma yang digunakan masih memiliki bias yang berasal dari Tiongkok? Kekhawatiran ini menunjukkan bahwa "kuasa algoritma" tidak hanya tentang kepemilikan, tetapi juga tentang pengawasan, transparansi, dan kemampuan untuk secara independen memverifikasi integritas sistem.
Di sisi lain, ada jutaan pengguna TikTok di Amerika yang sangat lega dan berharap kabar terbaru ini membuat TikTok bebas digunakan di AS tanpa ancaman pemblokiran. Platform ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari banyak orang Amerika, mulai dari hiburan, pendidikan, hingga menjadi alat pemasaran yang revolusioner. Salah satu kelompok yang paling merasakan dampaknya adalah pelaku usaha kecil. Diperkirakan, sekitar 7 juta pelaku usaha kecil di AS sangat terbantu dengan TikTok. Mereka menggunakan platform ini untuk menjangkau pelanggan baru, membangun merek, dan menjual produk mereka dengan biaya yang relatif rendah dibandingkan dengan saluran pemasaran tradisional.
Tiffany Cianci, seorang TikToker AS yang juga pemilik bisnis, menyuarakan sentimen ini dengan harapan besar. "Saya harap pemilik usaha kecil terlindungi. Saya mendukung aplikasi TikTok diselamatkan untuk para UMKM," katanya. Komunitas UMKM melihat TikTok bukan hanya sebagai aplikasi video pendek, melainkan sebagai mesin ekonomi yang vital. Kemampuan TikTok untuk membuat produk atau layanan menjadi viral dalam hitungan jam telah mengubah lanskap pemasaran bagi banyak bisnis kecil yang tidak memiliki anggaran iklan raksasa. Ancaman pemblokiran TikTok adalah ancaman langsung terhadap mata pencaharian dan masa depan bisnis mereka.
Pertarungan atas TikTok ini lebih dari sekadar sengketa bisnis; ini adalah cerminan dari perang dingin teknologi yang lebih luas antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Ini menyoroti bagaimana teknologi, khususnya algoritma yang mengendalikan aliran informasi, telah menjadi medan pertempuran baru untuk hegemoni global. AS berusaha untuk melindungi kedaulatan digitalnya dan data warganya, sementara Tiongkok berusaha untuk mempertahankan pengaruhnya di panggung teknologi global. Kesepakatan ini, dengan segala kerumitan dan skeptisismenya, akan menjadi preseden penting bagi bagaimana negara-negara berdaulat berusaha mengatur dan mengendalikan perusahaan teknologi asing yang beroperasi di wilayah mereka.
Masa depan TikTok di AS, meskipun ada kesepakatan ini, mungkin masih akan terus diawasi ketat. Implementasi teknis dari segregasi algoritma, mekanisme pengawasan, dan jaminan keamanan data akan menjadi kunci keberhasilan kesepakatan ini dalam jangka panjang. Apakah kesepakatan ini benar-benar akan melindungi pengguna Amerika dari potensi intervensi asing, atau apakah ia hanya akan memberikan ilusi keamanan, masih harus dilihat. Namun yang jelas, perebutan kuasa algoritma ini telah secara permanen mengubah cara kita memandang platform digital dan implikasi geopolitik yang melekat padanya.
(fay/afr)
